Kartografi Ketegangan Global–Lokal
Sub-bab ini membuka pembahasan tentang konflik industri dan komunitas adat di Sumatera Utara dengan memetakannya dalam konteks global, khususnya melalui perbandingan dengan kasus-kasus serupa di negara seperti Finlandia dan Kanada.
Penulis menekankan bahwa PT TPL tidak berdiri dalam ruang kosong, melainkan berada di tengah arus besar yang mempertemukan mandat negara, tekanan pasar internasional, dan perubahan standar etika global dalam tata kelola lingkungan.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Di tengah konfigurasi ini, PT TPL adalah representasi dari kontradiksi struktural yang dihadapi negara berkembang: antara pertumbuhan dan pelestarian, antara hilirisasi dan pengakuan hak masyarakat.
Sub-bab ini memperkenalkan pentingnya social license to operate sebagai syarat eksistensial yang tak bisa diperoleh dari negara, melainkan dari rasa diterima oleh masyarakat.
Pelajaran dari Raglan Agreement di Kanada
Sub-bab ini menelaah secara kritis Raglan Agreement di Kanada sebagai preseden global dalam merumuskan ulang relasi antara perusahaan tambang dan masyarakat adat.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Berangkat dari konteks historis yang dipenuhi trauma terhadap eksploitasi tanpa konsultasi—seperti kasus Asbestos Hill—perjanjian ini lahir dari negosiasi panjang antara Falconbridge dan komunitas Inuit.
Melalui proses yang alot namun terbuka, Raglan Agreement berhasil menjadi model Impact and Benefit Agreement (IBA) pertama di Amerika Utara yang menetapkan prinsip keterlibatan setara, transparansi, dan redistribusi manfaat sebagai syarat moral dan sosial bagi kelangsungan industri.
Kesepakatan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan operasional tidak hanya bertumpu pada izin legal dari negara, tetapi pada legitimasi sosial yang dibangun melalui relasi saling percaya dan posisi duduk yang setara dalam pengambilan keputusan.