Bab 5 - Kebenaran yang Diproduksi
Adakah Kepentingan NGO di Pusaran Konflik?
Penulis, dengan latar pengalaman sebagai bagian dari NGO itu sendiri, mengajak pembaca mengenali dinamika internal yang sering tak terlihat: tarik-menarik antara idealisme dan tuntutan donor, antara agenda komunitas dan strategi framing.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Tanpa menafikan peran positif NGO dalam memperjuangkan hak-hak sipil dan lingkungan, bab ini membuka percakapan tentang "kebenaran yang diproduksi", yaitu bahwa tidak semua advokasi bebas dari bias ideologis maupun kepentingan institusional.
Seruan penutupan industri atau pencabutan izin yang diluncurkan atas nama masyarakat adat belum tentu lahir dari partisipasi penuh warga terdampak, melainkan kadang menjadi bagian dari strategi mission creep dan marketized morality.
Dengan landasan ini, penulis mengantar pembaca menuju dua sub-bab lanjutan yang mengupas lebih tajam sisi-sisi tersembunyi dari peran NGO dalam konflik kehutanan di Tanah Batak—tanpa niat menyalahkan, tetapi untuk menjaga kewaspadaan agar tidak mudah terseret oleh narasi yang tampak suci, namun tak selalu utuh.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Mission Creep
Sub-bab ini membongkar fenomena mission creep, yaitu penyimpangan misi organisasi yang terjadi secara perlahan akibat tekanan pendanaan dan ekspektasi donor.
Diadaptasi dari dunia militer, konsep ini digunakan untuk menelaah bagaimana lembaga-lembaga non-pemerintah
(NGO) yang awalnya hadir sebagai kekuatan moral dan suara alternatif, dapat secara tidak sadar berubah arah menjadi instrumen pelaksana agenda eksternal.
Dengan menampilkan kasus-kasus seperti kegagalan Palang Merah Amerika di Haiti, disorientasi NGO di Ghana dan India, hingga dominasi narasi yang dibentuk di dalam sistem pendanaan Uni Eropa, penulis menunjukkan bahwa organisasi masyarakat sipil bukan entitas steril dari kepentingan.