Itulah sebabnya ketegangan yang muncul sulit diselesaikan hanya melalui mekanisme formal, karena persoalan yang sesungguhnya berada jauh di dalam batin kolektif.
Sub-bab ini bukan sekadar seruan idealis tentang perdamaian. Ia adalah ajakan pragmatis untuk menghentikan siklus konflik yang melelahkan.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Di atas segalanya, kesimpulan buku ini mengajak semua pihak kembali pada akar tradisi Batak sendiri, yakni menghargai martabat lewat kemampuan menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan hati terbuka.
Mengakhiri pola pikir zero-sum bukan berarti satu pihak harus mengalah, melainkan bahwa kedua pihak mulai berani mengambil langkah mundur sejenak untuk melihat gambaran besar: masa depan bersama yang lebih layak dan lebih manusiawi.
Martonggo Raja
Bagian penutup buku ini dibuka dengan renungan personal penulis tentang konflik yang tak kunjung selesai antara PT TPL dan masyarakat di Tanah Batak.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Di tengah kebuntuan pendekatan hukum dan mandeknya forum formal, penulis mengusulkan kembali satu kerangka yang telah hidup lama dalam tradisi lokal: Martonggo Raja.
Ia bukan sekadar forum adat, melainkan pranata deliberatif yang memungkinkan dialog berlangsung dalam suasana hormat dan berimbang.
Penulis menggarisbawahi bahwa dalam konteks konflik yang telah terlanjur simbolik, pendekatan semacam ini memberi jalan tengah—bukan untuk menyelesaikan seluruh perkara dalam satu pertemuan, tapi untuk memulihkan kepercayaan dan membuka ruang dengar yang sejauh ini belum tersedia.