Fakta-fakta ini menggugurkan tudingan bahwa PT TPL adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas bencana ekologis.
Kerangka multikausalitas penting dihadirkan agar diskursus publik tak terjebak dalam scapegoating, sehingga penanganan bencana bisa lebih komprehensif dan tepat sasaran, tanpa harus mengorbankan keadilan atau menyederhanakan kompleksitas persoalan lingkungan di wilayah Toba.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Masyarakat Adat
Tulisan ini memetakan konflik antara PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) dengan sejumlah komunitas masyarakat adat di sekitar kawasan Danau Toba, khususnya Sihaporas, Natumingka, Pandumaan-Sipituhuta, dan Nagasaribu Siharbangan.
Dengan pendekatan deskriptif dan berbasis kronologi hukum, bagian ini menunjukkan bahwa sengketa lahan lebih sering berakar pada ketiadaan kejelasan status hukum Masyarakat Hukum Adat (MHA) di hadapan negara.
Kasus Sorbatua Siallagan menjadi ilustrasi kuat bahwa konflik bukan semata soal niat jahat atau pelanggaran hukum, melainkan akibat struktur legal yang tidak tuntas membedakan antara klaim adat dan konsesi resmi negara.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Dalam konteks tersebut, PT TPL berperan sebagai pemegang izin sah yang tunduk pada kerangka hukum kehutanan. Meski sering diposisikan sebagai aktor dominan, perusahaan justru tercatat beberapa kali bersikap akomodatif ketika negara mengambil keputusan final, seperti pengakuan hutan adat di Pandumaan dan Nagasaribu.
Namun, dialog tidak selalu berjalan lancar, terutama ketika intervensi eksternal—baik dari NGO maupun tekanan politik—tidak membuka ruang solusi, melainkan memperkuat dikotomi antara “penindas” dan “korban”.
Melalui pemetaan partisipatif, audit terbuka, dan partisipasi dalam forum
mediasi, PT TPL mencoba mengedepankan prinsip kolaborasi dan transparansi.