Namun, naskah RUU yang ada dinilai belum menyentuh aspek paling mendasar dalam arsitektur hilirisasi: stabilitas dan perlindungan sektor hulu.
RUU ini memuat norma tentang pengembangan dan pengadaan bahan baku, tetapi absen dalam menjamin keberlangsungan pasokan di tengah gangguan non-teknis seperti sengketa lahan atau ketegangan sosial.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Untuk itu, penulis mengusulkan penyisipan norma baru yang mewajibkan negara menjamin keamanan rantai pasok dari sisi hulu sebagai prasyarat keberhasilan industrialisasi.
RUU ini hanya akan menjadi jalan keluar jika berani menggeser paradigma perlindungan, dari responsif menjadi preventif, dari teknokratik menjadi struktural.
Bab 7 - Menemukan Jalan Tengah
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Mengakhiri Zero-Sum
Pola pikir zero-sum selama ini menjadi sumber utama dari berbagai konflik sosial yang melingkupi PT TPL dan komunitas di sekitarnya.
Dalam pola pikir ini, keuntungan pihak lain selalu dianggap sebagai kerugian bagi yang lain. Akibatnya, setiap upaya kolaborasi dianggap sebagai kekalahan simbolik—martabat tergerus, kompromi dicurigai sebagai kelemahan.
Masyarakat tidak lagi bereaksi terhadap isu lahan atau investasi semata, melainkan terhadap penghormatan identitas dan pengakuan martabat.