DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Berikut ini executive summary buku karya saya yang berjudul "Jalan tengah untuk alam, adat dan industri."
Bab 1 - Berubah Untuk Bertahan
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Alam Bertambah Usia, Manusia Belajar Dewasa
Sub-bab ini menelusuri bagaimana konsep kepemilikan atas ruang dan tanah terbentuk secara historis, mulai dari masa ketika manusia hidup dalam lanskap yang cair dan terbuka, hingga hadirnya sistem sosial yang lebih menetap dan terstruktur.
Perubahan cara pandang terhadap ruang hidup—dari yang semula berpijak pada kelimpahan dan keterhubungan, menuju
penguasaan yang berbasis batas dan hak formal—dijelaskan sebagai bagian dari proses adaptasi manusia terhadap tekanan demografis, lingkungan, dan kebutuhan organisasi sosial.
Dalam proses itulah, tanah kemudian dimaknai secara berbeda oleh setiap generasi, baik sebagai ruang tinggal, sumber penghidupan, atau dasar yurisdiksi.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Sub-bab ini tidak memposisikan satu bentuk kepemilikan sebagai yang paling sahih, melainkan menggarisbawahi pentingnya memahami bahwa konflik hari ini seringkali terjadi bukan karena niat buruk dari satu pihak, tetapi karena perbedaan tafsir atas ruang dan nilai yang
melekat padanya.
Dengan membaca ulang sejarah kepemilikan, sub-bab ini mendorong munculnya kesadaran bahwa perubahan bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperbarui cara kita hidup berdampingan di atas ruang yang sama.
Jejak Basah dari INALUM dan Sungai Asahan
Sub-bab ini menelusuri kembali sejarah masuknya industri besar di kawasan Asahan, khususnya melalui kehadiran INALUM sebagai proyek nasional yang menyambungkan Sungai Asahan dengan agenda pembangunan negara.
Penulis memaparkan bagaimana industrialisasi di wilayah ini bukan hanya membawa transformasi ekonomi, tetapi juga menandai perubahan cara hidup masyarakat lokal—dari kampung yang sunyi menjadi simpul aktivitas industri strategis.
Melalui pengalaman pribadi sebagai anak desa yang pernah bekerja di lokasi proyek, sub-bab ini menggarisbawahi bahwa industri tidak selalu hadir sebagai ancaman; ia juga membuka jalan bagi generasi yang sebelumnya tidak memiliki banyak pilihan selain bertahan dalam keterbatasan.
Penulis menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak bisa dibaca secara monolitik, melainkan harus dilihat melalui konteks lokal dan pengalaman masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Asal Mula Kebencian pada Indorayon
Sub-bab ini mengulas asal-usul munculnya persepsi negatif publik terhadap PT Inti Indorayon Utama (kini PT Toba Pulp Lestari/TPL), dengan menyoroti peristiwa kebocoran pipa klorin tahun 1993 yang memicu kepanikan massal di Porsea.
Penulis secara kritis menguraikan bahwa insiden tersebut sejatinya adalah kebocoran kecil yang berhasil dikendalikan dalam hitungan menit, namun persepsi publik telah terlanjur berubah akibat informasi yang keliru dan tidak terkendali.
Sejak peristiwa itu, hubungan harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitar mulai retak, diperparah oleh konteks politik nasional pascareformasi yang semakin membuka ruang bagi sentimen negatif terhadap perusahaan.
Refleksi penting dalam sub-bab ini adalah bahwa kebencian terhadap Indorayon tidak muncul secara alamiah, melainkan dibangun oleh narasi yang tumbuh subur dalam situasi ketidakjelasan dan konflik sosial-politik yang melingkupinya.
Sub-bab ini juga mengingatkan pentingnya membaca ulang sejarah dengan teliti agar trauma masa lalu tidak terus diwariskan sebagai prasangka yang membelenggu perkembangan masa depan.
Penulis menegaskan bahwa perusahaan telah berubah—baik secara teknologi maupun tanggung jawab sosial— sehingga perlu kesempatan untuk dinilai secara objektif, terlepas dari stigma yang telah melekat akibat kejadian masa lampau.
Patgulipat Peta Adat: Political Brokerage
Sub-bab ini mengungkapkan bagaimana konflik agraria antara PT TPL dan sejumlah komunitas adat di kawasan konsesi tidak berdiri sendiri, tetapi sering dikendalikan secara tersembunyi oleh berbagai aktor politik dan sosial melalui praktik political brokerage.
Penulis secara kritis membahas peran LSM dan NGO yang bukan sekadar mendampingi, tetapi kadang justru
mengatur narasi, mengarahkan klaim masyarakat, dan bahkan secara tidak langsung memperpanjang konflik demi tujuan tertentu—baik pendanaan maupun pengaruh politik.
Fakta-fakta lapangan yang diungkap oleh Komnas HAM memperlihatkan bahwa sebagian klaim atas tanah adat ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh bukti historis yang kuat atau kesepakatan masyarakat yang utuh, sehingga konflik tidak lagi murni soal hak ulayat, tetapi juga tentang strategi politik dan kepentingan ekonomi yang tidak terlihat di permukaan.
Praduga atas Sikap Gereja
Sub-bab ini merefleksikan dengan jujur dan hati-hati tentang peran gereja dalam menyikapi konflik lingkungan dan sosial yang terkait dengan kehadiran PT TPL di Tanah Batak.
Penulis menghormati posisi moral dan spiritual gereja yang mengadvokasi isu-isu ekologis, namun mengingatkan agar gereja tetap menjaga ruang dialog terbuka dan tidak terburu-buru menarik kesimpulan yang menutup kesempatan untuk berdialog dengan semua pihak.
Mengutip secara mendalam ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, serta pernyataan Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap, penulis menegaskan bahwa gereja seharusnya berperan sebagai mediator yang mendamaikan, bukan memperdalam konflik dengan prasangka ataupun narasi tunggal yang mengabaikan perspektif lain.
Penulis secara reflektif dan personal mengajak institusi gereja untuk tetap konsisten sebagai ruang spiritual yang tidak menghakimi, tetapi membuka pintu bagi rekonsiliasi dan pemahaman timbal balik.
Kritik terhadap gereja bukan untuk melemahkan peran spiritualnya, melainkan untuk menjaga agar perannya tetap seimbang, jernih, dan inklusif.
Sub-bab ini adalah panggilan untuk terus mempertahankan dialog yang jujur dan penuh hormat, memastikan bahwa setiap suara—termasuk yang tidak selalu nyaman untuk didengar—mendapat ruang untuk diungkapkan, sehingga keadilan dan perdamaian yang sesungguhnya
dapat tumbuh secara bermartabat.
Bagaimana Jika TPL Tidak (Pernah) Ada?
Sub-bab ini menawarkan sebuah eksperimen imajinatif: bagaimana jika PT Toba Pulp Lestari (TPL) tidak pernah ada atau berhenti beroperasi?
Dengan pendekatan reflektif, penulis menunjukkan bahwa ketiadaan pengelola resmi berisiko membuka peluang perambahan liar, eksploitasi tanpa kontrol, dan kerusakan lingkungan yang justru lebih parah akibat minimnya kapasitas pengawasan oleh aparat negara.
Dalam konteks ini, keberadaan PT TPL—meskipun dengan segala keterbatasannya—terbukti menjalankan peran penting dalam menjaga integritas kawasan melalui patroli rutin, penegakan batas administrasi, dan konservasi biodiversitas yang secara nyata melindungi kawasan dari ancaman kerusakan yang lebih besar.
Lebih jauh lagi, sub-bab ini juga menyadarkan bahwa dampak sosio-ekonomi dari hilangnya industri penggerak utama seperti PT TPL bisa berakibat serius pada stabilitas sosial-ekonomi lokal, sebagaimana tergambar dalam contoh nyata penutupan industri kertas di Canton dan Luke, Amerika Serikat serta industri tambang batu bara di Jiu Valley, Rumania.
Dengan demikian, penulis menegaskan perlunya mengubah arah percakapan publik dari tuntutan penutupan perusahaan menjadi upaya peningkatan tata kelola lingkungan yang lebih transparan dan bertanggung jawab, karena ketiadaan pengelolaan formal justru berpotensi membawa wilayah ke dalam kekacauan yang lebih merugikan masyarakat luas.
Bab 2 - Belajar Dari Utara
Kartografi Ketegangan Global–Lokal
Sub-bab ini membuka pembahasan tentang konflik industri dan komunitas adat di Sumatera Utara dengan memetakannya dalam konteks global, khususnya melalui perbandingan dengan kasus-kasus serupa di negara seperti Finlandia dan Kanada.
Penulis menekankan bahwa PT TPL tidak berdiri dalam ruang kosong, melainkan berada di tengah arus besar yang mempertemukan mandat negara, tekanan pasar internasional, dan perubahan standar etika global dalam tata kelola lingkungan.
Di tengah konfigurasi ini, PT TPL adalah representasi dari kontradiksi struktural yang dihadapi negara berkembang: antara pertumbuhan dan pelestarian, antara hilirisasi dan pengakuan hak masyarakat.
Sub-bab ini memperkenalkan pentingnya social license to operate sebagai syarat eksistensial yang tak bisa diperoleh dari negara, melainkan dari rasa diterima oleh masyarakat.
Pelajaran dari Raglan Agreement di Kanada
Sub-bab ini menelaah secara kritis Raglan Agreement di Kanada sebagai preseden global dalam merumuskan ulang relasi antara perusahaan tambang dan masyarakat adat.
Berangkat dari konteks historis yang dipenuhi trauma terhadap eksploitasi tanpa konsultasi—seperti kasus Asbestos Hill—perjanjian ini lahir dari negosiasi panjang antara Falconbridge dan komunitas Inuit.
Melalui proses yang alot namun terbuka, Raglan Agreement berhasil menjadi model Impact and Benefit Agreement (IBA) pertama di Amerika Utara yang menetapkan prinsip keterlibatan setara, transparansi, dan redistribusi manfaat sebagai syarat moral dan sosial bagi kelangsungan industri.
Kesepakatan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan operasional tidak hanya bertumpu pada izin legal dari negara, tetapi pada legitimasi sosial yang dibangun melalui relasi saling percaya dan posisi duduk yang setara dalam pengambilan keputusan.
Sámi, Metsähallitus, dan Sengketa yang Mencair
Sub-bab ini menguraikan konflik panjang antara suku Sámi—masyarakat adat satu-satunya di Eropa yang diakui secara resmi—dan Metsähallitus, BUMN Finlandia yang mengelola sebagian besar wilayah
hutan negara tersebut.
Konflik ini berakar pada ketegangan historis akibat peralihan status tanah adat Sámi menjadi tanah negara, di mana aktivitas ekonomi seperti kehutanan komersial berbenturan langsung dengan tradisi penggembalaan rusa yang menjadi inti budaya Sámi.
Namun, alih-alih terus mempertajam ketegangan, Finlandia memilih jalur dialog, kolaborasi, serta penerapan mekanisme partisipasi dan konsultasi yang lebih terbuka.
Melalui berbagai langkah seperti Natural Resource Plan (NRP), adopsi pedoman internasional Akwé: Kon, hingga investasi besar dalam konservasi dan pelestarian budaya, Metsähallitus secara bertahap mengubah pendekatan mereka dari pengelola hutan berbasis ekonomi semata menjadi aktor yang lebih responsif terhadap isu sosial-ekologis.
Meski belum sempurna, pengalaman Finlandia menghadapi sengketa ini menjadi pelajaran penting bahwa relasi antara negara, korporasi, dan masyarakat adat tidak harus berakhir dengan saling
meniadakan, tetapi bisa dikelola lewat kesabaran dialog serta kemauan untuk mendengar aspirasi semua pihak.
Bab 3 - Terkepung Pusaran Tuduhan
Garis Besar Tuduhan
Sub-bab ini membedah konflik antara PT TPL dan masyarakat adat bukan sebagai sengketa hitam-putih, melainkan sebagai produk dari ketegangan struktural antara legalitas negara dan legitimasi sosial.
Tuduhan terhadap PT TPL, terutama terkait klaim tanah ulayat dan kerusakan
lingkungan, dikaji secara hati-hati, dengan membedakan antara kecurigaan yang lahir dari pengalaman langsung dan narasi yang terakumulasi dalam ruang publik tanpa konfirmasi.
Penulis menolak penyederhanaan yang menjadikan perusahaan sebagai simbol tunggal kerusakan, dan mengajak pembaca menelaah ulang akar konflik melalui jalur data, regulasi, serta logika pembangunan yang lebih luas.
Dalam kerangka ini, perusahaan bukan hanya obyek gugatan, tetapi juga aktor yang lahir dari sistem kebijakan negara yang lebih besar dan berlapis.
Jejak Panjang dan Sejarah PT TPL
Sub-bab ini merekonstruksi sejarah PT Toba Pulp Lestari (TPL) secara rinci dan terukur, dimulai dari era Orde Baru ketika perusahaan lahir sebagai PT Inti Indorayon Utama dalam momentum optimisme pembangunan Indonesia.
Di tengah kebijakan hilirisasi kehutanan yang menegaskan perlunya nilai tambah dan konservasi ekologis, Indorayon tumbuh melalui tahapan kompleks perizinan, memilih eukaliptus sebagai tanaman andalan yang adaptif dan efisien secara ekologis, meskipun kontroversial.
Bab ini juga menantang narasi simplistis yang menyudutkan eukaliptus, dengan merujuk penelitian ilmiah yang membantah sentimen negatif umum terkait konsumsi air dan dampak ekologisnya.
Transformasi Indorayon menjadi PT TPL pascareformasi menjadi titik balik strategis untuk menjawab resistensi sosial-ekologis, memperkenalkan model bisnis baru yang lebih sensitif terhadap lingkungan, melibatkan masyarakat lokal, serta mengurangi dampak industri terhadap lingkungan.
Sub-bab ini dengan jujur memperlihatkan bahwa sejarah TPL adalah narasi perubahan, penyusutan konsesi, dan transformasi kebijakan yang kerap luput dari perhatian publik.
Penulis mengajak untuk membaca ulang sejarah ini dengan lebih jernih dan seimbang, guna membuka ruang dialog yang lebih konstruktif, di luar narasi konflik yang terlalu emosional dan repetitif.
Pelibatan Masyarakat
Sub-bab ini mengeksplorasi secara mendalam berbagai inisiatif keterlibatan masyarakat yang dilakukan oleh PT TPL selama tiga dekade terakhir.
Berlawanan dengan tuduhan umum bahwa
perusahaan abai terhadap aspirasi warga, bab ini memperlihatkan bukti kuat keterlibatan publik yang nyata melalui mekanisme komunikasi terbuka seperti Free, Prior and Informed Consent (FPIC), pemetaan partisipatif, serta program Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang sukses diimplementasikan di berbagai desa.
Pendekatan bottom-up dalam PKR memberi ruang bagi komunitas sebagai mitra aktif yang berhak menentukan jenis tanaman dan model kolaborasi, menciptakan psychological ownership, otonomi penuh, serta manfaat ekonomi langsung yang dirasakan masyarakat lokal.
Di sisi lain, penggunaan ICLUP (Integrated
Conservation and Land Use Plan) menunjukkan usaha serius PT TPL dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan konservasi, dengan partisipasi masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi berbasis NKT dan SKT yang telah disepakati bersama secara kolektif.
Deforestasi
Sub-bab ini mengurai ulang perdebatan soal deforestasi yang selama ini cenderung direduksi dalam narasi hitam-putih.
Penulis menelusuri akar historis lahirnya kesadaran lingkungan dari buku Silent Spring karya Rachel Carson dan bagaimana narasi ekologis itu berkembang menjadi agenda global yang dipenuhi visual dramatis, tekanan donor, dan bias kampanye.
Dalam konteks Indonesia, tuduhan deforestasi terhadap PT TPL seringkali tidak didasarkan pada distingsi yang memadai antara hutan primer dan hutan tanaman industri.
Padahal, dalam definisi FAO dan kerangka tata kelola kehutanan nasional, aktivitas panen dan penanaman ulang dalam sistem rotasi seperti yang diterapkan PT TPL tidak tergolong deforestasi, melainkan bagian dari sistem budidaya berkelanjutan.
Lebih lanjut, Sub-bab ini mengedepankan bahwa keberadaan PT TPL berada dalam kerangka hukum yang sah, tunduk pada pengawasan berlapis dari negara, dan terus diperbarui melalui audit, sertifikasi, serta moratorium terhadap hutan alam.
Penulis membandingkan tuduhan populer dengan hasil verifikasi teknis yang menunjukkan bahwa PT TPL tidak hanya memenuhi kaidah keberlanjutan secara legal, tetapi juga berinvestasi pada teknologi pengolahan limbah, pengurangan emisi karbon, dan konservasi kawasan bernilai ekologis tinggi.
Dengan menghadirkan laporan audit, kajian ilmiah, dan klarifikasi langsung dari lapangan, bab ini menunjukkan bahwa kebenaran soal deforestasi tidak bisa disimpulkan dari citra satelit atau suara kampanye semata, melainkan harus ditakar melalui proses yang jujur, berbasis data, dan berpandangan jangka panjang.
Bencana Alam
Narasi dominan tentang banjir bandang di kawasan Danau Toba kerap menyederhanakan masalah dengan menunjuk PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai penyebab tunggal.
Namun, analisis berbasis data spasial, audit teknis dari UPTD KPH Wilayah II, serta BPDAS Asahan Barumun, menunjukkan tuduhan tersebut rapuh secara ekologis maupun geografis.
Wilayah konsesi PT TPL tidak tumpang tindih dengan Daerah Tangkapan Air (DTA) banjir bandang Parapat.
Lebih jauh, temuan lapangan membuktikan bahwa kombinasi faktor alam seperti curah hujan ekstrem, kondisi lereng sangat curam, serta jenis tanah dengan daya serap rendah memiliki kontribusi dominan terhadap banjir.
Secara bersamaan, praktik-praktik antropogenik seperti pengelolaan lahan kritis tanpa memperhatikan kaidah konservasi, pertambangan ilegal, pembukaan lahan pertanian, serta
pemukiman tanpa drainase memadai turut memperparah situasi ekologis.
Fakta-fakta ini menggugurkan tudingan bahwa PT TPL adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas bencana ekologis.
Kerangka multikausalitas penting dihadirkan agar diskursus publik tak terjebak dalam scapegoating, sehingga penanganan bencana bisa lebih komprehensif dan tepat sasaran, tanpa harus mengorbankan keadilan atau menyederhanakan kompleksitas persoalan lingkungan di wilayah Toba.
Masyarakat Adat
Tulisan ini memetakan konflik antara PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) dengan sejumlah komunitas masyarakat adat di sekitar kawasan Danau Toba, khususnya Sihaporas, Natumingka, Pandumaan-Sipituhuta, dan Nagasaribu Siharbangan.
Dengan pendekatan deskriptif dan berbasis kronologi hukum, bagian ini menunjukkan bahwa sengketa lahan lebih sering berakar pada ketiadaan kejelasan status hukum Masyarakat Hukum Adat (MHA) di hadapan negara.
Kasus Sorbatua Siallagan menjadi ilustrasi kuat bahwa konflik bukan semata soal niat jahat atau pelanggaran hukum, melainkan akibat struktur legal yang tidak tuntas membedakan antara klaim adat dan konsesi resmi negara.
Dalam konteks tersebut, PT TPL berperan sebagai pemegang izin sah yang tunduk pada kerangka hukum kehutanan. Meski sering diposisikan sebagai aktor dominan, perusahaan justru tercatat beberapa kali bersikap akomodatif ketika negara mengambil keputusan final, seperti pengakuan hutan adat di Pandumaan dan Nagasaribu.
Namun, dialog tidak selalu berjalan lancar, terutama ketika intervensi eksternal—baik dari NGO maupun tekanan politik—tidak membuka ruang solusi, melainkan memperkuat dikotomi antara “penindas” dan “korban”.
Melalui pemetaan partisipatif, audit terbuka, dan partisipasi dalam forum
mediasi, PT TPL mencoba mengedepankan prinsip kolaborasi dan transparansi.
Sementara itu, buku ini juga mengingatkan pentingnya peran negara sebagai fasilitator yang tidak hanya menetapkan batas legal, tetapi juga merawat keadilan relasional antara korporasi dan komunitas lokal yang hidup di tengah perubahan.
Bab 4 - Antara Serat dan Sekat
Tumbuhnya Narasi Anti-Industri
Sub-bab ini mengangkat dinamika tumbuhnya narasi anti-industri yang mengitari eksistensi PT TPL, di tengah pertarungan simbolik antara keadilan ekologis dan ketergantungan ekonomi.
Tulisan ini menyisir aspek yang sering terpinggirkan dalam diskursus publik, yakni dampak keberadaan industri terhadap mata pencaharian warga lokal.
Dari buruh harian hingga pemilik
warung, dari petani mitra hingga pelajar penerima beasiswa, terbentuklah sebuah ekosistem ekonomi yang tidak bisa dipisahkan dari roda operasional perusahaan.
Penolakan terhadap PT TPL kerap tampil dalam narasi tunggal yang politis, dengan tuntutan final seperti “cabut izin”
atau “tutup pabrik”, namun jarang disertai dengan rancangan pasca-industri yang realistis.
Dalam konteks seperti ini, pemutusan rantai industri tanpa alternatif yang setara justru berisiko menciptakan ketimpangan baru, terutama bagi mereka yang berada di posisi paling rentan dalam struktur ekonomi lokal.
Melalui pendekatan naratif dan data partisipatif, bagian ini tidak serta-merta membela eksistensi industri, namun menolak penyederhanaan konflik menjadi dikotomi mutlak antara ‘perusak’ dan ‘korban’.
Subaltern counterpublics—yakni mereka yang hidup dari industri namun jarang mendapat ruang bicara—ditampilkan sebagai bagian dari lanskap konflik yang juga patut didengar.
Data partisipasi kerja, persebaran geografis tenaga kerja, serta kontribusi sosial perusahaan seperti program padi emas, bantuan kebencanaan, hingga pembangunan infrastruktur lokal, memperlihatkan dimensi lain dari kehadiran industri.
Bias Epistemologi Ekonomi Baik dan Buruk
Sub-bab ini menelusuri akar bias epistemologis yang mengonstruksi dikotomi antara “ekonomi
baik” dan “ekonomi buruk” dalam narasi publik seputar PT TPL.
Dikotomi ini mengidealkan usaha kecil, pertanian, dan ekonomi komunitas sebagai bentuk ekonomi yang "luhur",
sementara sektor industri—khususnya industri kehutanan—secara simbolik diasosiasikan dengan kerakusan dan kerusakan.
Padahal, dalam kerangka ekonomi-politik kontemporer, keberhasilan pembangunan tidak terletak pada pemisahan sektor melainkan pada keterhubungan antar sektor dalam struktur sosial yang kompleks.
Sub-bab ini membongkar bias epistemologis yang menyederhanakan konflik menjadi urusan antara pihak yang benar versus yang salah.
Dengan menggunakan perspektif Polanyi, Sen, Fraser, hingga Bateson, penulis menunjukkan bahwa kebenaran ekonomi tak bisa hanya dinilai dari asal kegiatan atau simbol budayanya, tetapi harus diuji dari kontribusinya terhadap perluasan kebebasan manusia, keadilan distribusi, dan daya hidup kolektif.
Industri tidak otomatis buruk, begitu pula usaha kecil tidak otomatis adil. Yang dibutuhkan bukan glorifikasi atas satu bentuk ekonomi, tetapi evaluasi yang jernih atas dampaknya terhadap masyarakat.
Bab 5 - Kebenaran yang Diproduksi
Adakah Kepentingan NGO di Pusaran Konflik?
Penulis, dengan latar pengalaman sebagai bagian dari NGO itu sendiri, mengajak pembaca mengenali dinamika internal yang sering tak terlihat: tarik-menarik antara idealisme dan tuntutan donor, antara agenda komunitas dan strategi framing.
Tanpa menafikan peran positif NGO dalam memperjuangkan hak-hak sipil dan lingkungan, bab ini membuka percakapan tentang "kebenaran yang diproduksi", yaitu bahwa tidak semua advokasi bebas dari bias ideologis maupun kepentingan institusional.
Seruan penutupan industri atau pencabutan izin yang diluncurkan atas nama masyarakat adat belum tentu lahir dari partisipasi penuh warga terdampak, melainkan kadang menjadi bagian dari strategi mission creep dan marketized morality.
Dengan landasan ini, penulis mengantar pembaca menuju dua sub-bab lanjutan yang mengupas lebih tajam sisi-sisi tersembunyi dari peran NGO dalam konflik kehutanan di Tanah Batak—tanpa niat menyalahkan, tetapi untuk menjaga kewaspadaan agar tidak mudah terseret oleh narasi yang tampak suci, namun tak selalu utuh.
Mission Creep
Sub-bab ini membongkar fenomena mission creep, yaitu penyimpangan misi organisasi yang terjadi secara perlahan akibat tekanan pendanaan dan ekspektasi donor.
Diadaptasi dari dunia militer, konsep ini digunakan untuk menelaah bagaimana lembaga-lembaga non-pemerintah
(NGO) yang awalnya hadir sebagai kekuatan moral dan suara alternatif, dapat secara tidak sadar berubah arah menjadi instrumen pelaksana agenda eksternal.
Dengan menampilkan kasus-kasus seperti kegagalan Palang Merah Amerika di Haiti, disorientasi NGO di Ghana dan India, hingga dominasi narasi yang dibentuk di dalam sistem pendanaan Uni Eropa, penulis menunjukkan bahwa organisasi masyarakat sipil bukan entitas steril dari kepentingan.
Ketika pendanaan menjadi orientasi utama, idealisme perlahan dikompromikan oleh logika keberlanjutan institusional. Narasi yang dibentuk pun tidak lagi merepresentasikan komunitas lokal, melainkan selera pasar kebijakan global.
Dalam konteks kehutanan dan konflik PT TPL, gejala mission creep terlihat dari semakin jauhnya isu advokasi dari realitas sosial warga dan semakin dominannya narasi-narasi yang disesuaikan dengan ekspektasi donor.
Isu lingkungan, hak adat, dan keadilan sosial yang seharusnya dibahas secara jernih dan kontekstual justru diringkas dalam bentuk kampanye yang dramatik dan manipulatif, sering kali mengandalkan teknik restricted narration untuk menciptakan efek emosional yang kuat.
Hal ini diperparah oleh kecenderungan monetisasi kebenaran, di mana fakta dikurasi, konteks dihilangkan, dan suara komunitas yang tidak sejalan disisihkan.
Sub-bab ini mengajak pembaca untuk waspada: bahwa ancaman terhadap ruang demokrasi dan kedaulatan berpikir tidak selalu datang dari negara atau korporasi, melainkan juga dari aktor non-negara yang membawa agenda dengan wajah moralitas yang tampak bersih, namun sarat kalkulasi politik dan ekonomi di baliknya.
Ekologi yang Dimonetisasi oleh Sertifikasi
Sub-bab ini menelusuri dinamika sistem sertifikasi kehutanan, dari kemunculan lembaga seperti FSC dan PEFC hingga lahirnya SVLK di Indonesia sebagai respons nasional yang berbasis regulasi.
Penulis menggambarkan bahwa lahirnya skema-skema ini merupakan jawaban atas kekosongan norma pasca-KTT Rio, sekaligus ikhtiar global untuk menjawab krisis lingkungan dengan pendekatan pasar yang lebih partisipatif.
Skema internasional seperti FSC berupaya
membangun tata kelola multipihak, memberi ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil, pelaku industri, dan organisasi lingkungan.
Di sisi lain, SVLK hadir sebagai bentuk kedaulatan standar—mengutamakan kepatuhan hukum nasional sembari tetap memenuhi ekspektasi pasar global. Kedua pendekatan ini dinilai saling melengkapi, meskipun memiliki logika dan tantangan masing-masing.
Di tengah meningkatnya tuntutan keberlanjutan, sertifikasi telah menjelma menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas rantai pasok dan kredibilitas produk kehutanan.
Namun, penulis juga mengajak pembaca untuk melihat secara jernih bagaimana sistem ini bekerja dalam praktik, terutama dalam konteks negara-negara berkembang.
Ketika sertifikasi menjadi syarat masuk pasar, perusahaan dihadapkan pada tantangan biaya, tekanan reputasi, dan mekanisme koreksi yang kadang terlalu reaktif terhadap kampanye eksternal.
Melalui studi kasus PT TPL, penulis menunjukkan bahwa upaya perbaikan lingkungan dan sosial yang telah ditempuh seringkali belum mendapat ruang naratif yang setara.
Bab 6 - Kolaborasi, Bukan Provokasi!
DNA Industri Sumatera Utara
Sejarah Sumatera Utara tak bisa dilepaskan dari industrialisasi yang telah berakar sejak masa perdagangan maritim Selat Malaka, berkembang melalui ekspansi perkebunan kolonial
tembakau Deli, karet, dan kelapa sawit, hingga kelahiran industri energi seperti minyak Pangkalan Brandan dan peleburan aluminium INALUM.
Wilayah ini secara historis telah memainkan peran sentral dalam jaringan produksi dan ekspor global, dengan konektivitas yang kuat ke jalur pelayaran internasional dan daya tarik investasi asing yang tinggi sejak abad ke-19.
Pertumbuhan industri bukanlah sesuatu yang asing bagi Sumatera Utara, melainkan bagian integral dari identitas ekonominya, dan telah membentuk infrastruktur sosial, urbanisasi, serta struktur tenaga kerja regional selama lebih dari satu abad.
Namun, warisan industri ini kini berhadapan dengan tantangan narasi baru yang kerap menempatkan industrialisasi sebagai ancaman.
Seruan penutupan industri seperti PT TPL mencerminkan kegagalan memahami kontinuitas sejarah dan logika ekonomi wilayah ini.
Dalam konteks di mana investasi sekto industri terus mendorong pertumbuhan regional Sumut dan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto mencapai peringkat kelima nasional, narasi anti-industri tidak hanya prematur tetapi juga berisiko merusak ekosistem ekonomi lokal yang telah tumbuh dari proses panjang.
Oleh karena itu, pembangunan di Sumatera Utara harus dibingkai bukan sebagai oposisi antara masyarakat dan industri, melainkan sebagai kolaborasi yang berangkat dari memori sejarah, rasionalitas kebijakan, dan keberanian berpikir jangka panjang.
Potensi Serat Nusantara
Sub-bab ini membongkar kesalahpahaman umum bahwa PT TPL adalah produsen kertas, padahal realitas produksinya kini telah bergeser ke dissolving pulp—bahan baku utama serat viscose rayon untuk industri tekstil.
Dengan keunggulan agronomis pohon eukaliptus dan efisiensi rotasi HTI di iklim tropis, PT TPL berdiri di titik strategis rantai pasok tekstil global yang semakin mencari alternatif berkelanjutan dari serat sintetis dan kapas.
Sayangnya, Indonesia pernah kehilangan peluang besar ketika pabrik rayon Indorayon ditutup, memutus ekosistem hilirisasi yang justru kini menjadi rebutan global.
Di tengah dominasi Tiongkok dan India, subbab ini menegaskan bahwa #BringBackRayon bukan sekadar slogan, tetapi otokritik historis dan agenda pemulihan industri.
Melalui tinjauan teknis, pasar, dan geoekonomi, penulis menyerukan agar Indonesia tidak lagi menjadi penyedia bahan mentah semata, melainkan berani masuk ke arena manufaktur serat berdaya saing tinggi.
Viscose dinilai unggul dari sisi efisiensi lahan, konsumsi air, dan keluwesan aplikatif—mulai dari fashion hingga alat medis antibakteri.
Maka peran PT TPL perlu dilihat sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan impor kapas, memperkuat substitusi industri, dan membangun kedaulatan serat selulosa.
Dengan pangsa produksi nasional viscose yang mulai tumbuh dan orientasi global yang berpihak pada serat biodegradable, sub-bab ini mengajukan satu tesis penting: Indonesia bisa menjadi pemain utama industri tekstil masa depan, asalkan berani memulihkan rantai nilai yang pernah diputus terlalu dini.
Stabilitas Industri Sebagai Syarat Hilirisasi
Transformasi industri kehutanan Indonesia menuju hilirisasi berbasis nilai tambah tidak akan bertahan jika struktur sosial-agraria di hulu terus dilanda ketegangan.
Kasus PT TPL menunjukkan bahwa hilirisasi bukan hanya soal membangun pabrik atau memperluas pasar ekspor, tetapi pertama-tama menuntut stabilitas sosial di wilayah konsesi.
Ketika akses bahan baku terganggu oleh konflik spasial yang belum tuntas, maka seluruh rantai produksi terancam lumpuh—bahkan pada perusahaan yang telah mengantongi izin resmi, menjalankan sistem tanam berkelanjutan, dan menyandang status Objek Vital Nasional.
Ketika jalan distribusi tersumbat oleh ketegangan tapak, logika hilirisasi runtuh bukan karena kesalahan industri, tapi karena absennya kehadiran negara sebagai penata ruang dan penjamin keadilan struktural.
Di sinilah kritik utama diarahkan: bahwa status Obvitnas sebagaimana tertuang dalam Keppres 63/2004 belum diiringi oleh perangkat perlindungan yang konkret di lapangan.
Perusahaan diminta menanggung risiko sosial yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, terutama ketika konflik yang muncul merupakan akumulasi dari warisan kebijakan terdahulu.
Keberlanjutan hilirisasi memerlukan ekosistem regulasi dan tata kelola yang menjamin bahwa ruang produksi tidak terus diguncang oleh ketidakpastian hukum dan sosial.
Negara tidak bisa terus menjadi penonton. Dalam model hilirisasi strategis berbasis kehutanan, kehadiran negara sebagai fasilitator dan penengah adalah syarat mutlak agar industri tidak hanya tumbuh, tetapi bertahan.
RUU Pertekstilan: Jalan Keluar?
Sub-bab ini mengkaji RUU Pertekstilan sebagai momentum strategis untuk menata ulang sektor tekstil nasional yang selama ini terfragmentasi.
Di tengah krisis yang ditandai dengan gelombang penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja, RUU ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem pertekstilan yang terintegrasi dan berdaya saing.
Penulis menyoroti tumpang tindih kewenangan antar-kementerian, dominasi impor bahan baku, serta lemahnya proteksi terhadap industri domestik sebagai akar persoalan yang harus diselesaikan lewat pendekatan regulatif yang menyeluruh dan koordinatif.
Namun, naskah RUU yang ada dinilai belum menyentuh aspek paling mendasar dalam arsitektur hilirisasi: stabilitas dan perlindungan sektor hulu.
RUU ini memuat norma tentang pengembangan dan pengadaan bahan baku, tetapi absen dalam menjamin keberlangsungan pasokan di tengah gangguan non-teknis seperti sengketa lahan atau ketegangan sosial.
Untuk itu, penulis mengusulkan penyisipan norma baru yang mewajibkan negara menjamin keamanan rantai pasok dari sisi hulu sebagai prasyarat keberhasilan industrialisasi.
RUU ini hanya akan menjadi jalan keluar jika berani menggeser paradigma perlindungan, dari responsif menjadi preventif, dari teknokratik menjadi struktural.
Bab 7 - Menemukan Jalan Tengah
Mengakhiri Zero-Sum
Pola pikir zero-sum selama ini menjadi sumber utama dari berbagai konflik sosial yang melingkupi PT TPL dan komunitas di sekitarnya.
Dalam pola pikir ini, keuntungan pihak lain selalu dianggap sebagai kerugian bagi yang lain. Akibatnya, setiap upaya kolaborasi dianggap sebagai kekalahan simbolik—martabat tergerus, kompromi dicurigai sebagai kelemahan.
Masyarakat tidak lagi bereaksi terhadap isu lahan atau investasi semata, melainkan terhadap penghormatan identitas dan pengakuan martabat.
Itulah sebabnya ketegangan yang muncul sulit diselesaikan hanya melalui mekanisme formal, karena persoalan yang sesungguhnya berada jauh di dalam batin kolektif.
Sub-bab ini bukan sekadar seruan idealis tentang perdamaian. Ia adalah ajakan pragmatis untuk menghentikan siklus konflik yang melelahkan.
Di atas segalanya, kesimpulan buku ini mengajak semua pihak kembali pada akar tradisi Batak sendiri, yakni menghargai martabat lewat kemampuan menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan hati terbuka.
Mengakhiri pola pikir zero-sum bukan berarti satu pihak harus mengalah, melainkan bahwa kedua pihak mulai berani mengambil langkah mundur sejenak untuk melihat gambaran besar: masa depan bersama yang lebih layak dan lebih manusiawi.
Martonggo Raja
Bagian penutup buku ini dibuka dengan renungan personal penulis tentang konflik yang tak kunjung selesai antara PT TPL dan masyarakat di Tanah Batak.
Di tengah kebuntuan pendekatan hukum dan mandeknya forum formal, penulis mengusulkan kembali satu kerangka yang telah hidup lama dalam tradisi lokal: Martonggo Raja.
Ia bukan sekadar forum adat, melainkan pranata deliberatif yang memungkinkan dialog berlangsung dalam suasana hormat dan berimbang.
Penulis menggarisbawahi bahwa dalam konteks konflik yang telah terlanjur simbolik, pendekatan semacam ini memberi jalan tengah—bukan untuk menyelesaikan seluruh perkara dalam satu pertemuan, tapi untuk memulihkan kepercayaan dan membuka ruang dengar yang sejauh ini belum tersedia.
Di bagian akhir, penulis mengembangkan lima usulan konkret yang sekiranya akan disampaikan dalam forum Martonggo Raja, apabila penulis kelak diikutsertakan.
Dari pemberdayaan pengrajin ulos dan penanaman pohon kemenyan di zona campuran, hingga restorasi mata air, mendorong pendirian SMK Kehutanan, dan penghijauan gunung-gunung sakral di kawasan Toba, semua dirancang sebagai strategi sosial-ekologis jangka panjang.
Penulis menyimpulkan bahwa konflik in tidak akan selesai dengan saling meniadakan, melainkan dengan kesediaan semua pihak untuk duduk, mendengar, dan membangun ulang kepercayaan.
Martonggo Raja dihadirkan sebagai cara yang masuk akal untuk kembali menyusun relasi antara adat, industri, dan negara dalam bahasa yang lebih akrab bagi tanah itu sendiri.
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI
[Redaktur: Robert Panggabean]