Di tengah dominasi Tiongkok dan India, subbab ini menegaskan bahwa #BringBackRayon bukan sekadar slogan, tetapi otokritik historis dan agenda pemulihan industri.
Melalui tinjauan teknis, pasar, dan geoekonomi, penulis menyerukan agar Indonesia tidak lagi menjadi penyedia bahan mentah semata, melainkan berani masuk ke arena manufaktur serat berdaya saing tinggi.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Viscose dinilai unggul dari sisi efisiensi lahan, konsumsi air, dan keluwesan aplikatif—mulai dari fashion hingga alat medis antibakteri.
Maka peran PT TPL perlu dilihat sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan impor kapas, memperkuat substitusi industri, dan membangun kedaulatan serat selulosa.
Dengan pangsa produksi nasional viscose yang mulai tumbuh dan orientasi global yang berpihak pada serat biodegradable, sub-bab ini mengajukan satu tesis penting: Indonesia bisa menjadi pemain utama industri tekstil masa depan, asalkan berani memulihkan rantai nilai yang pernah diputus terlalu dini.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Stabilitas Industri Sebagai Syarat Hilirisasi
Transformasi industri kehutanan Indonesia menuju hilirisasi berbasis nilai tambah tidak akan bertahan jika struktur sosial-agraria di hulu terus dilanda ketegangan.
Kasus PT TPL menunjukkan bahwa hilirisasi bukan hanya soal membangun pabrik atau memperluas pasar ekspor, tetapi pertama-tama menuntut stabilitas sosial di wilayah konsesi.
Ketika akses bahan baku terganggu oleh konflik spasial yang belum tuntas, maka seluruh rantai produksi terancam lumpuh—bahkan pada perusahaan yang telah mengantongi izin resmi, menjalankan sistem tanam berkelanjutan, dan menyandang status Objek Vital Nasional.