Ketika pendanaan menjadi orientasi utama, idealisme perlahan dikompromikan oleh logika keberlanjutan institusional. Narasi yang dibentuk pun tidak lagi merepresentasikan komunitas lokal, melainkan selera pasar kebijakan global.
Dalam konteks kehutanan dan konflik PT TPL, gejala mission creep terlihat dari semakin jauhnya isu advokasi dari realitas sosial warga dan semakin dominannya narasi-narasi yang disesuaikan dengan ekspektasi donor.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Isu lingkungan, hak adat, dan keadilan sosial yang seharusnya dibahas secara jernih dan kontekstual justru diringkas dalam bentuk kampanye yang dramatik dan manipulatif, sering kali mengandalkan teknik restricted narration untuk menciptakan efek emosional yang kuat.
Hal ini diperparah oleh kecenderungan monetisasi kebenaran, di mana fakta dikurasi, konteks dihilangkan, dan suara komunitas yang tidak sejalan disisihkan.
Sub-bab ini mengajak pembaca untuk waspada: bahwa ancaman terhadap ruang demokrasi dan kedaulatan berpikir tidak selalu datang dari negara atau korporasi, melainkan juga dari aktor non-negara yang membawa agenda dengan wajah moralitas yang tampak bersih, namun sarat kalkulasi politik dan ekonomi di baliknya.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Ekologi yang Dimonetisasi oleh Sertifikasi
Sub-bab ini menelusuri dinamika sistem sertifikasi kehutanan, dari kemunculan lembaga seperti FSC dan PEFC hingga lahirnya SVLK di Indonesia sebagai respons nasional yang berbasis regulasi.
Penulis menggambarkan bahwa lahirnya skema-skema ini merupakan jawaban atas kekosongan norma pasca-KTT Rio, sekaligus ikhtiar global untuk menjawab krisis lingkungan dengan pendekatan pasar yang lebih partisipatif.
Skema internasional seperti FSC berupaya
membangun tata kelola multipihak, memberi ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil, pelaku industri, dan organisasi lingkungan.