Ketika jalan distribusi tersumbat oleh ketegangan tapak, logika hilirisasi runtuh bukan karena kesalahan industri, tapi karena absennya kehadiran negara sebagai penata ruang dan penjamin keadilan struktural.
Di sinilah kritik utama diarahkan: bahwa status Obvitnas sebagaimana tertuang dalam Keppres 63/2004 belum diiringi oleh perangkat perlindungan yang konkret di lapangan.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Perusahaan diminta menanggung risiko sosial yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, terutama ketika konflik yang muncul merupakan akumulasi dari warisan kebijakan terdahulu.
Keberlanjutan hilirisasi memerlukan ekosistem regulasi dan tata kelola yang menjamin bahwa ruang produksi tidak terus diguncang oleh ketidakpastian hukum dan sosial.
Negara tidak bisa terus menjadi penonton. Dalam model hilirisasi strategis berbasis kehutanan, kehadiran negara sebagai fasilitator dan penengah adalah syarat mutlak agar industri tidak hanya tumbuh, tetapi bertahan.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
RUU Pertekstilan: Jalan Keluar?
Sub-bab ini mengkaji RUU Pertekstilan sebagai momentum strategis untuk menata ulang sektor tekstil nasional yang selama ini terfragmentasi.
Di tengah krisis yang ditandai dengan gelombang penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja, RUU ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem pertekstilan yang terintegrasi dan berdaya saing.
Penulis menyoroti tumpang tindih kewenangan antar-kementerian, dominasi impor bahan baku, serta lemahnya proteksi terhadap industri domestik sebagai akar persoalan yang harus diselesaikan lewat pendekatan regulatif yang menyeluruh dan koordinatif.