Penulis menegaskan bahwa perusahaan telah berubah—baik secara teknologi maupun tanggung jawab sosial— sehingga perlu kesempatan untuk dinilai secara objektif, terlepas dari stigma yang telah melekat akibat kejadian masa lampau.
Patgulipat Peta Adat: Political Brokerage
Sub-bab ini mengungkapkan bagaimana konflik agraria antara PT TPL dan sejumlah komunitas adat di kawasan konsesi tidak berdiri sendiri, tetapi sering dikendalikan secara tersembunyi oleh berbagai aktor politik dan sosial melalui praktik political brokerage.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Penulis secara kritis membahas peran LSM dan NGO yang bukan sekadar mendampingi, tetapi kadang justru
mengatur narasi, mengarahkan klaim masyarakat, dan bahkan secara tidak langsung memperpanjang konflik demi tujuan tertentu—baik pendanaan maupun pengaruh politik.
Fakta-fakta lapangan yang diungkap oleh Komnas HAM memperlihatkan bahwa sebagian klaim atas tanah adat ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh bukti historis yang kuat atau kesepakatan masyarakat yang utuh, sehingga konflik tidak lagi murni soal hak ulayat, tetapi juga tentang strategi politik dan kepentingan ekonomi yang tidak terlihat di permukaan.
Praduga atas Sikap Gereja
Sub-bab ini merefleksikan dengan jujur dan hati-hati tentang peran gereja dalam menyikapi konflik lingkungan dan sosial yang terkait dengan kehadiran PT TPL di Tanah Batak.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Penulis menghormati posisi moral dan spiritual gereja yang mengadvokasi isu-isu ekologis, namun mengingatkan agar gereja tetap menjaga ruang dialog terbuka dan tidak terburu-buru menarik kesimpulan yang menutup kesempatan untuk berdialog dengan semua pihak.
Mengutip secara mendalam ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, serta pernyataan Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap, penulis menegaskan bahwa gereja seharusnya berperan sebagai mediator yang mendamaikan, bukan memperdalam konflik dengan prasangka ataupun narasi tunggal yang mengabaikan perspektif lain.
Penulis secara reflektif dan personal mengajak institusi gereja untuk tetap konsisten sebagai ruang spiritual yang tidak menghakimi, tetapi membuka pintu bagi rekonsiliasi dan pemahaman timbal balik.