Pertumbuhan industri bukanlah sesuatu yang asing bagi Sumatera Utara, melainkan bagian integral dari identitas ekonominya, dan telah membentuk infrastruktur sosial, urbanisasi, serta struktur tenaga kerja regional selama lebih dari satu abad.
Namun, warisan industri ini kini berhadapan dengan tantangan narasi baru yang kerap menempatkan industrialisasi sebagai ancaman.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Seruan penutupan industri seperti PT TPL mencerminkan kegagalan memahami kontinuitas sejarah dan logika ekonomi wilayah ini.
Dalam konteks di mana investasi sekto industri terus mendorong pertumbuhan regional Sumut dan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto mencapai peringkat kelima nasional, narasi anti-industri tidak hanya prematur tetapi juga berisiko merusak ekosistem ekonomi lokal yang telah tumbuh dari proses panjang.
Oleh karena itu, pembangunan di Sumatera Utara harus dibingkai bukan sebagai oposisi antara masyarakat dan industri, melainkan sebagai kolaborasi yang berangkat dari memori sejarah, rasionalitas kebijakan, dan keberanian berpikir jangka panjang.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Potensi Serat Nusantara
Sub-bab ini membongkar kesalahpahaman umum bahwa PT TPL adalah produsen kertas, padahal realitas produksinya kini telah bergeser ke dissolving pulp—bahan baku utama serat viscose rayon untuk industri tekstil.
Dengan keunggulan agronomis pohon eukaliptus dan efisiensi rotasi HTI di iklim tropis, PT TPL berdiri di titik strategis rantai pasok tekstil global yang semakin mencari alternatif berkelanjutan dari serat sintetis dan kapas.
Sayangnya, Indonesia pernah kehilangan peluang besar ketika pabrik rayon Indorayon ditutup, memutus ekosistem hilirisasi yang justru kini menjadi rebutan global.