Subaltern counterpublics—yakni mereka yang hidup dari industri namun jarang mendapat ruang bicara—ditampilkan sebagai bagian dari lanskap konflik yang juga patut didengar.
Data partisipasi kerja, persebaran geografis tenaga kerja, serta kontribusi sosial perusahaan seperti program padi emas, bantuan kebencanaan, hingga pembangunan infrastruktur lokal, memperlihatkan dimensi lain dari kehadiran industri.
Baca Juga:
Falcon Pictures Hadirkan Shutter, Remake Horor Legendaris Thailand dengan Sentuhan Lokal
Bias Epistemologi Ekonomi Baik dan Buruk
Sub-bab ini menelusuri akar bias epistemologis yang mengonstruksi dikotomi antara “ekonomi
baik” dan “ekonomi buruk” dalam narasi publik seputar PT TPL.
Dikotomi ini mengidealkan usaha kecil, pertanian, dan ekonomi komunitas sebagai bentuk ekonomi yang "luhur",
sementara sektor industri—khususnya industri kehutanan—secara simbolik diasosiasikan dengan kerakusan dan kerusakan.
Padahal, dalam kerangka ekonomi-politik kontemporer, keberhasilan pembangunan tidak terletak pada pemisahan sektor melainkan pada keterhubungan antar sektor dalam struktur sosial yang kompleks.
Baca Juga:
Film Jepang “Blonde” Angkat Konflik Guru di Tengah Tekanan Sosial dan Budaya
Sub-bab ini membongkar bias epistemologis yang menyederhanakan konflik menjadi urusan antara pihak yang benar versus yang salah.
Dengan menggunakan perspektif Polanyi, Sen, Fraser, hingga Bateson, penulis menunjukkan bahwa kebenaran ekonomi tak bisa hanya dinilai dari asal kegiatan atau simbol budayanya, tetapi harus diuji dari kontribusinya terhadap perluasan kebebasan manusia, keadilan distribusi, dan daya hidup kolektif.
Industri tidak otomatis buruk, begitu pula usaha kecil tidak otomatis adil. Yang dibutuhkan bukan glorifikasi atas satu bentuk ekonomi, tetapi evaluasi yang jernih atas dampaknya terhadap masyarakat.