Seruan ini bukanlah slogan kosong. Kita mesti menggerakkan para pemuka agama agar khotbahnya dari atas mimbar rumah ibadah menegaskan pentingnya menjaga bumi.
Para pemimpin mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati hingga Kepala Desa, para pebisnis hingga politisi agar beralih menggunakan energi terbarukan, mendukung pertanian organik, serta menolak proyek ekstraktif yang merusak ekosistem lokal.
Baca Juga:
Momen Haru di Cianjur, Dedi Mulyadi Peluk Pendeta dan Janji Lunasi Utang Gereja Rp6 Miliar
Mari kita peluk erat para aktivis lingkungan, para pegiat budaya, pembibit tanaman dan penanam pohon, sama eratnya dengan cara kita merangkul mereka yang tak punya tempat berteduh.
Mengapa? Karena sesungguhnya mereka semua adalah korban dari sistem yang sama, sebuah sistem yang merampas kehidupan dan memutuskan “ponggol” ikatan suci antara manusia dan alam.
Kita seharusnya mulai menyadari satu hal penting: spiritualitas kita tidak akan pernah utuh jika kaki kita enggan menyentuh tanah. Karena bagaimana mungkin kita berbicara tentang Tuhan, jika kita kehilangan kedekatan dengan ciptaan-Nya yang paling nyata—bumi ini?
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Dukungan SKK Migas Terkait Pasokan LNG untuk Pembangkit Listrik PLN
Hubungan kita dengan Tuhan tidak bisa dipisahkan dari cara kita memperlakukan tanah tempat kita berpijak, air yang menghidupi tubuh kita, pepohonan yang memberi kita naungan, serta udara yang kita hirup setiap detik. Itu semua bukan benda mati. Mereka bagian dari sistem kehidupan yang dirancang secara cermat oleh Sang Pencipta.
Kita tidak bisa mengaku mencintai Tuhan—Sang Pencipta langit dan bumi, jika pada saat yang sama kita merusak, mengeksploitasi, atau mengabaikan ciptaan-Nya.
Karena cinta sejati kepada Tuhan selalu tercermin dari sikap hormat kita terhadap ciptaan-Nya yang lain. Ingat kembali bagaimana kisah itu bermula. Setelah Tuhan menyelesaikan penciptaan-Nya—pohon-pohon, bunga-bunga, burung-burung, dan segala makhluk hidup yang menari dalam harmoni—Ia melihat semuanya baik, bahkan sangat baik. Lalu Ia memberinya nama: Taman Eden.