Kita tebus dosa itu bukan dengan sesal tanpa ujung, tapi dengan aksi nyata. Menanam kembali jutaan pohon endemik yang telah punah dari tanah kita. Menyemai harapan baru di tanah-tanah yang dulu dikoyak keserakahan. Menyusun kembali taman Eden—yang pernah Tuhan cintai ketika pertama kali Ia menciptakannya—bukan dengan retorika, tapi dengan tangan kita sendiri.
Karena memang, kerusakan sudah terjadi. Kita tidak menutup mata terhadapnya. Tapi kita juga tidak akan terus meratapinya.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memperbaikinya. Dan langkah pertama untuk memperbaiki, adalah dengan memahami akar kerusakannya.
Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak kita pahami. Kita harus menelusuri dari mana bencana ini bermula—apakah dari sistem ekonomi yang rakus, kebijakan yang abai, atau budaya konsumsi yang tak pernah cukup?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah. Tapi tanpa menjawabnya, kita hanya akan mengulang dosa yang sama—dengan wajah yang lebih modern, dan kerusakan yang lebih dalam.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Karena itu, jika muncul seruan lantang untuk menutup begitu saja perusahaan yang telah meruntuhkan jutaan pohon endemik (pohon na jolo i), langkah tersebut sejatinya belum bijak, belum tuntas, dan tentu belum marbisuk.
Sebaliknya, suara keras kita seharusnya mengarah kepada tuntutan pertobatan ekologis yang nyata dan bertanggung jawab.
Bagaimana caranya? Mereka wajib diberi ultimatum untuk menebus dosa ekologisnya dengan mengembalikan seluruh ekosistem yang telah rusak.