Bumi sebagai amanah. Bumi sebagai tanggung jawab. Bumi sebagai tempat pengabdian manusia sebelum ia bicara soal keselamatan. Dan dalam konteks krisis iklim yang makin nyata hari ini, pesan ini menjadi sangat relevan. Dunia tidak sedang menuju perubahan biasa. Ia sedang menuju kekacauan—jika kita terus acuh.
Maka tona na uli ini bukan sekadar nasihat bijak. Ia adalah refleksi moral paling mendasar bagi siapa pun yang mau mendengar.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Ia seperti suara sunyi yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang bersedia berjalan pelan—seorang pejalan sunyi, berbaju putih bersih, dibalut ulos mangiring, dan ikatan tali Batak di kepalanya. Ia tidak berteriak. Ia hanya berjalan.
Tapi dalam langkahnya, ia menyimak: suara daun yang merintih, sungai yang tersedak limbah, pohon-pohon yang hilang, tanah yang retak, dan udara yang kehilangan nafasnya.
Bumi ini sedang mati pelan-pelan. Tapi ia belum menyerah. Ia masih berharap ada yang mau mendengarnya. Dan kita, kalau masih mengaku bagian dari ciptaan, seharusnya mulai menunduk dan mendengar juga.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Sesungguhnya, firman Tuhan tidak selalu hadir dalam bentuk tulisan. Ia tidak hanya datang lewat kitab-kitab suci yang kita baca di rumah ibadah.
Kadang, Tuhan berbicara lewat cara lain—lebih diam, tapi lebih terasa. Lewat alam yang sedang kesakitan. Ia berbicara lewat retakan tanah yang kekeringan. Lewat lereng-lereng yang longsor, hutan yang gundul, dan badai yang datang tiba-tiba dan memporakporandakan segalanya.
Ia hadir dalam banjir besar yang menghanyutkan rumah-rumah, dalam kemarau panjang yang membuat sawah menjadi padang debu, dan dalam cairnya es di ujung bumi bagian utara, yang selama ribuan tahun seharusnya tetap membeku.