Kalau kita masih memandangnya sebagai objek, kita tak akan pernah peduli ketika ia sakit. Tapi kalau kita mulai melihatnya sebagai makhluk spiritual yang hidup—kita akan mengerti: bahwa ia sesungguhnya sedang menangis, dan kita sendiri yang menyebabkan air matanya jatuh.
Sudah waktunya kita menghayati kembali bahwa bumi ini adalah ciptaan besar dari Tuhan—Sipanggombar Sipanggabe. Sebutan yang sarat makna. Sebab dari tangan-Nya lahirlah tanah subur tempat kita berpijak. Mata air yang tak pernah memilih siapa yang boleh minum. Udara yang memberi napas tanpa membeda-bedakan siapa yang menghirupnya.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Dan jangan lupa: setiap makhluk hidup yang berjalan di atas tanah ini—binatang, tumbuhan, bahkan batu yang diam—adalah bagian dari keluarga besar kita sendiri.
Ya, keluarga besar. Bukan hanya sekadar alat. Bukan sekadar properti. Dang marimbar par hasundutan nang par habinsaran. Kita bukan pemilik segalanya. Kita hanya penumpang dalam perjalanan panjang ciptaan ini.
Ini sebenarnya kalimat yang sangat sederhana. Tapi justru dalam kesederhanaannya, tersembunyi sesuatu yang besar: sebuah revolusi.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Bukan hanya revolusi pikiran, tapi juga revolusi teologis, revolusi ekologis, dan revolusi spiritualitas. Semua dalam satu: tona na uli.
Kita sering terbiasa melihat agama sebagai jalan menuju langit—kehidupan setelah mati, surga sebagai tujuan akhir.
Tapi melalui tona na uli ini, kita diajak mengubah arah pandang. Paus Fransiskus telah melakukannya lebih dulu. Ia menggeser pusat kesadaran spiritual: dari menatap langit, menuju menyentuh bumi.