Mereka harus menanam kembali seluruh pepohonan asli endemik yang pernah hidup di sana—seperti jabi-jabi, bintatar, haminjon, maratti, dan berbagai jenis lainnya.
Tak hanya itu, mereka juga wajib memastikan bibit-bibit endemik tersebut tersedia, menghidupkan lagi mata air yang telah lama mati, dan membangkitkan sungai-sungai yang dahulu mengalirkan air jernih, tetapi kini kering akibat hilangnya pohon-pohon pelindungnya.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Inilah bentuk sejati penebusan dosa ekologis yang harus mereka lakukan. Sebab menutup perusahaan secara spontan tanpa tanggung jawab, sama artinya kita membiarkan kehancuran alam itu berjalan semakin parah, seperti membiarkan korban kecelakaan lalu lintas yang penuh luka dibiarkan tergeletak begitu saja.
Korban itu harus segera dibawa ke IGD, dirawat secara intensif, dibersihkan luka-lukanya, diberi oksigen, vitamin, dan obat-obatan lain hingga pulih. Setelah melalui masa kritis dan operasinya berhasil, barulah ia dipindahkan ke ruang perawatan untuk memulihkan diri secara perlahan hingga mampu berdiri dan berjalan lagi.
Langkah-langkah inilah yang lebih arif, lebih bertanggung jawab, dan lebih marbisuk demi menyembuhkan bumi yang kini tengah menderita.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Ekologi Adalah Khotbah yang Sesungguhnya
Kita semua mesti membumikan kembali “tonggo, pitta pitta”, doa yang tak lagi terbatas untuk keselamatan jiwa manusia saja, tetapi juga untuk memohon pemulihan tanah, kesegaran pohon-pohon, kembalinya mata air yang mengering, aliran sungai yang kembali hidup, kejernihan air danau, serta udara yang sehat dan layak dihirup.
Agama sudah waktunya berhenti hanya menjanjikan surga setelah mati, sementara pada saat bersamaan membiarkan bumi berubah menjadi neraka bagi generasi mendatang.
Karena itu, inilah saatnya kita menyuarakan dengan lantang: “Jadilah leluhur masa depan!”