Semua itu bukan sekadar fenomena alam. Mereka adalah peringatan yang hidup. Dan Tuhan sedang menyampaikan sesuatu di sana.
Pesannya jelas: amanah untuk menjaga bumi tidak bisa lagi ditunda, apalagi diabaikan. Sebab setiap suara alam yang rusak sesungguhnya adalah gema dari kelalaian kita sendiri.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Kalau kita benar-benar mendengarkan, maka kita akan tahu: Tuhan sedang bicara. Dan tugas kita bukan hanya mendengar, tetapi menjawabnya—dengan tindakan.
Yang Sudah Menikmati, Kini Waktunya Memperbaiki
Remedi sosial dan lingkungan adalah jalan tengah-bukan untuk menebus masa lalu, tapi untuk menata masa depan.
Oleh karena itu, mari kita hidupkan kembali pesan penting yang pernah disampaikan oleh Paus Fransiskus—pesan yang tidak hanya menyentuh sisi iman, tetapi juga nurani dan tanggung jawab ekologis kita sebagai manusia. Bahwa dosa ekologis bukanlah konsep abstrak atau sekadar istilah baru dalam diskursus teologi. Ia adalah luka yang nyata, menyayat bumi dan jiwa kita sekaligus.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Luka itu bukan metafora. Ia mewujud dalam penderitaan panjang yang tak terlihat dari balik layar gawai kita: tanah yang mati, udara yang kotor, sungai yang keruh, iklim yang kacau, dan generasi yang kehilangan harapan akan masa depan.
Dosa ekologis itu menyakitkan—karena kita sendirilah pelakunya. Maka kini saatnya kita berhenti membela diri. Saatnya berkata lantang kepada dunia: "Hai dunia! Jangan lagi mengukur nilai kehidupan hanya dari angka pertumbuhan ekonomi laba dan keuntungan jangka pendek!"
Kita harus berani menjadi suara sunyi yang selama ini diabaikan. Suara yang tak punya megafon, tapi jujur. Suara yang tak didengar di ruang bursa, tapi penting bagi keberlanjutan hidup: "Cukup! Hentikan sekarang juga. Jangan ditunda lagi!"