Dalam taman itu, Tuhan tidak menempatkan manusia sebagai pemilik, tetapi sebagai sahabat dan penjaga. Maka diciptakanlah Adam dan Hawa—bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pemelihara.
Mereka diberi tugas menjaga taman yang indah itu, taman yang menjadi lambang kasih Tuhan kepada bumi.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Hari ini, kita menyebut tempat ini dengan nama lain: Geopark Eden—atau dalam bahasa kita, luat na uli, surga yang terlihat nyata. Sebuah nama yang bukan hanya indah, tetapi juga mengandung tanggung jawab besar.
Karena ketika kita menyebut bumi ini sebagai "surga yang terlihat", itu berarti kita mengakui keindahannya, sekaligus berkomitmen menjaganya.
Sebab surga tidak diwariskan untuk dirusak, tapi untuk dirawat dan dilestarikan—dengan penuh rasa hormat, dengan kasih, dan dengan tindakan nyata.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Torsa dan turiturian ini bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah kontemplasi bersama, sekaligus harapan yang hidup.
Sebuah ajakan nyata agar kita kembali menyentuh akar terdalam dari spiritualitas yang selama ini barangkali terlupakan: kosmologi dari kebijaksanaan lokal.
Dalam konteks ini, Presiden Prabowo menyebutnya sebagai bentuk"kolaborasi"—bukan hanya antara negara dan masyarakat, tetapi antara iman dan alam, antara modernitas dan nilai-nilai leluhur.