DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Festival Wisata Edukasi Leluhur Batak Tahun 2025 (FWELB Rumahela 2025) akan digelar mulai dari persiapan hingga akhir pada Juni-Juli 2025, mengangkat tema “Hokkopma Tanom, Paangur Bona Ni Pinasam" (Rawatlah Bumi, Lestarikan Budayamu).
Berikut ulasan latar belakang hingga jadwal lengkap kegiatan dimaksud, sebagaimana kontemplasi diterima WahanaNews.co dari anggota Komisi III DPR RI Hinca IP Panjaitan, Rabu (25/6/2025).
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Tentang FWELB Rumahela 2025
Kami menyadari bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil. Dari sebuah langkah kecil yang menolak lupa, dari sejumput kesadaran untuk tidak menyerah pada arus modernisasi yang melucuti akar budaya, dan dari tekad sederhana untuk menjaga tanah sebagai titipan, bukan warisan untuk dihabiskan.
FWELB 2025 adalah ruang belajar bersama, tempat kita berhenti sejenak, menengok ke belakang, dan bertanya: masihkah kita terhubung dengan tanah yang membentuk jati diri kita?
Hokkopma Tanom, Paangur Bona Ni Pinasam
Jika bumi retak dan narasi leluhur turut koyak, maka sesungguhnya yang hilang bukan hanya pepohonan atau jernihnya air danau, melainkan juga sebagian dari diri kita sendiri. Disanalah generasi kehilangan akar, sebab manusia yang lupa asal-usulnya akan selalu kehilangan arah.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Festival ini, dengan ritual, dialog, dan petualangan edukatifnya, mengajak kita berdamai dengan akar-membuktikan bahwa merawat lingkungan bukan kerja terpisah, melainkan denyut yang membuat budaya tetap bertunas di hati generasi mendatang.
Pilar Utama
1. Pujilah Tuhan Allah mu, hormatilah para leluhurmu, dan sayangilah budaya mu.
2. Barangsiapa yang menghormati para leluhurnya dengan sepenuh hatinya, sesungguhnya pada saat yang bersamaan dia sedang mempersiapkan dirinya menjadi leluhur bagi generasinya yang akan datang (leluhur masa depan).
3. Hamparan Geopark Kaldera Toba—dari Uluan Darat Sakti, Pussubuhit, Bania Raja, hingga seluruh bentang yang memeluk Tao Toba—adalah taman bumi bagi dunia, secercah “Luat Nauli Mutik ni Surgo”, keindahan surga yang dititipkan di tanah Batak.
Event Detail
31 Mei, Tonggo Raja para raja-raja.
1-30 Juni, Prosesi mengambil lebih dari 100 mata air di sekitar Kabupaten Samosir, Dairi, Humbahas, Toba, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Asahan, Aceh Selatan dan Sukabumi, Jawa Barat dan lain-lain.
1 Juli, Pembukaan di kantor Bupati Samosir.
2 Juli, Prosesi ritual Raja ni huta di Huta Pangondian Simullop.
3 Juli, Prosesi Ritual Mangelek Tao Toba, di AekKoruk, terusan tano ponggol sampai dengan di Ransangbosi.
4 Juli, FGD tonggoraja para raja raja dengan tema “Kartu Kuning UNESCO untuk Geopark Kaldera Toba di situs Sijamburnabolak.
5 Juli, Doa di Bukit dalam Misa Inkulturasi dan penanaman massal pohon di Parhutaan Situs Rumahela.
6 Juli, Prosesi Ritual Pattappehon di Rumah Bolon Raja Sogumelenggeleng, Huta Pangondian Simullop (Pagi-Siang)
Prosesi Manatti dan pelaksanaan parhobasan untuk persiapan Ulian Bolon (Sore-Malam)
7 Juli, Prosesi penyusunan dan penyampaian ulian bolon dan doa-doa perdamaian dunia dan kesejahteraan bersama umat manusia khususnya masyarakat Indonesia, di Huta Pangobdian Simullop (Pagi dan Siang).
Prosesi Ritual barisan tortor matamual di Huta Pangondian Simullop (Petang).
7-8 Juli, Ritual Gondang Sabangunan di Huta Pangondian Simullop (Malam hingga Subuh).
8 Juli, Persiapan Penutupan FWELB Rumahela 2025 di Waterfront Pangururan, Samosir.
9 Juli, Penutupan FWELB Rumahela 2025, yakni Prosesi Pembacaan Deklarasi Sijamburnabolak, Sorimangaraja;
Ritual 7 Torsa Habatakon;
Konser Rumahela (Viky Sianipar dan Perkusi Primitif Sariburaja)
Pesta Kembang Api di Waterfront, Pangururan, Samosir.
10 Juli, Prosesi ritual akhir FWELB Rumahela 2025 di Batu Hobon, Sianjurmulamula (dini hari).
Kontemplasi dan harapan torsa dan turi-turian ni FWELB Rumahela 2025 sebagai ruang jawab kartu kuning UNESCO kepada Geopark Kaldera Toba
Jejak yang (sempat) Hilang
Setelah berabad-abad tersembunyi dalam sunyi dan nyaris terlupakan, kini kisah lama itu dapat kembali dibaca, dimaknai, dan dijadikan pedoman berharga dalam menjaga identitas budaya.
Awalnya, ini hanya cerita turun-temurun. Tentang seorang tokoh penting dalam silsilah Batak: Raja Isombaon, putra kedua Si Raja Batak dan Si Boru Sorbajadi.
Tentang parhutaan-nya yang entah di mana. Tentang jejaknya yang hilang begitu saja, tertutup waktu, tertimbun senyap.
Kita tahu, abangnya, Guru Tatea Bulan, telah lama mendapat tempat terhormat di Sianjurmulamula, di lereng barat Pussubuhit.
Ada situs. Ada cerita. Ada penghormatan. Tapi Raja Isombaon? Ia nyaris seperti bayang-bayang yang terlupakan. Tak ada situs. Tak ada batu. Tak ada tanda.
Namun sejarah tidak mudah dikubur. Ia hanya menunggu orang-orang yang mau mencarinya kembali.
Dan pencarian itu ternyata tidak main-main. Ia tidak selesai dalam hitungan bulan. Tapi berjalan pelan, bahkan nyaris tanpa suara, selama puluhan tahun.
Banyak yang menyerah. Lebih banyak lagi yang menganggapnya hanya angan-angan. Tapi beberapa orang tetap berjalan. Tak pakai bendera. Tak minta sorotan. Hanya semangat yang aneh: ingin menebus hilangnya sebuah ingatan.
Lalu datang satu tanggal yang tak akan dilupakan.14 Februari 2010.
Hari itu, almarhum Ir. Hendri Naibaho dan beberapa sahabatnya menemukan sesuatu di Tombak Longo Longo, Sijamburmulatoppa, di lereng timur Pussubuhit. Sesuatu yang selama ini hanya ada dalam harapan.
Bukan sekadar batu. Bukan sekadar tanah. Tapi saksi bisu dari sebuah warisan yang kembali pulang.
Situs itu kemudian dinamai Parhutaan Situs Rumahela. Dan sejak saat itu, nama Raja Isombaon bukan lagi sebatas cerita. Ia punya tempat, punya bukti, punya ruang untuk dikenang.
Kini, ketika kita berdiri di sana, kita sedang berdiri bukan hanya di atas tanah, tetapi di atas lembar sejarah yang dulu sempat hilang. Dan setiap langkah disana, adalah sebuah pengingat bahwa ingatan bisa pudar — tapi tidak pernah benar-benar mati. Asal ada yang mau mencarinya kembali.
Kami Bukan Hebat. Kami Hanya Tidak Menyerah Saja
Tahun 2025, Situs Rumahela genap berusia 15 tahun sejak pertama kali ditemukan kembali. Angka yang mungkin kecil di mata sejarah besar. Tapi besar artinya bagi sebuah perjuangan yang tak pernah berhenti.
Sebuah perjalanan yang dimulai dari keyakinan—bahwa jejak leluhur tak boleh hilang begitu saja. Bahwa warisan harus dijaga, bukan sekadar diperingati. Dan kita telah melakukannya. Bersama.
Kita menjaga situs ini, merawatnya, membangunnya kembali, tidak hanya dengan tangan, tapi juga dengan hati dan jiwa yang utuh.
Tidak sebentar. Tidak musiman. Tapi terus-menerus. Setiap hari. Setiap minggu. Setiap bulan. Setiap tahun. Tak pernah kita berhenti, karena kita percaya pada satu hal: #DangAcciCeng
Mengapa #NggakBolehMenyerah? Karena yang kita perjuangkan bukan ilusi. Ia nyata. Ada di hadapan mata. Bisa disentuh, bisa diinjak, bisa dirasakan langsung oleh hati kita yang paling dalam.
Situs Parhutaan Rumahela adalah tempat yang hidup—bernapas bersama angin, bersama rumput, bersama sejarah. Siapa pun yang datang ke sana akan tahu: inilah rumah. Tempat pulang. Tempat yang membuat kita merasa kedamaian dan penuh khidmat.
Dari atas punggung bukitnya, Danau Toba membentang seperti cermin langit yang tak retak. Tenang. Biru. Megah. Ia memeluk tujuh wilayah adat yang tersusun rapi seperti doa dalam kitab yang tidak tertulis. Semua ini bukan kebetulan. Semua ini warisan. Dan warisan, jika tidak dijaga, hanya akan jadi debu sejarah.
Geopark, taman bumi, adalah wilayah yang menyatukan tiga pilar utama: keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity).
Ketiga unsur ini saling terkait erat, saling menopang, dan tidak dapat dipisahkan. Menjaga geopark berarti menjaga bumi sekaligus memelihara identitas budaya manusia yang hidup diatasnya. Dan ketiga diversity itu sempurna ada di situs Parhutaan Rumahela.
Tahun 2021, dunia menyapanya: UNESCO menetapkan Geopark Kaldera Toba sebagai bagian dari surga kecil di bumi—Luat Nauli Mutik Ni Surgo.
Tapi dunia juga mengingatkan. Indonesia sempat diberi peringatan. Teguran halus berbentuk “kartu kuning”. Sebab taman surga ini dianggap kurang terawat, kurang dicintai, kurang dijaga.
Tapi ditengah semua itu, Rumahela tidak ikut mundur.
Ia tetap berdiri. Diam, tapi lantang. Tak banyak bicara, tapi setia menjadi bagian dari perjuangan panjang menjaga Kaldera Toba—jauh sebelum pujian dunia datang, sejak Presiden SBY menetapkannya sebagai Geopark Nasional pada 2014.
Itulah sebabnya kita tidak boleh menyerah. Karena situs ini bukan hanya soal masa lalu, Ia adalah tentang bagaimana kita menjaga masa depan.
Langkah Pelan, Tangan Menanam. Itulah Bentuk Kesetiaan
Dengan semangat yang tidak dibuat-buat, kita ingin semua yang datang kesini merasakan hal yang sama: sebuah kerinduan yang dalam, sebuah kesadaran yang jernih. Bahwa budaya bukan sekadar warisan simbolik, tapi napas yang harus terus hidup dalam tindakan sehari-hari.
Kita berkumpul bukan hanya karena sebuah acara. Kita datang dengan pakaian budaya, mengenakan ulos, diiringi lage-lage tiar, dan membawa nilai-nilai adat yang diajarkan sejak kecil.
Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah niat di baliknya. Kita datang untuk merawat, bukan sekadar memperingati. Kita datang untuk menjaga, bukan hanya memotret.
Kesetiaan itu tidak harus heboh. Ia bisa hadir dalam bentuk yang sederhana: senyum tulus, langkah pelan, dan tangan yang tetap menanam di tanah yang sama—sekali pun hasilnya belum terlihat. Itulah bentuk kasih yang sesungguhnya: holong na marsitutu.
Nilai-nilai ini penting. Sebab dunia di luar sana sedang berubah cepat. Banyak yang kehilangan arah, bahkan kehilangan pijakan. Di tengah gelombang besar itu, dua hal tetap bisa jadi kompas: cahaya ekologi spiritual, yang mengingatkan kita untuk menjaga hubungan dengan alam, dan cahaya inklusivitas, yang memeluk siapa pun, apa pun latar belakangnya.
Dua cahaya inilah yang kini kita bawa kembali ke rumah. Dan pesan Raja Isombaon di rumah parsaktiannya masih sangat relevan hari ini: “Hokkop ma tanom, paangur bona ni pinasam". Peliharalah tanaman dengan sungguh-sungguh, sebab di sanalah akar kehidupan kita sebenarnya.
Mengapa harus demikian? Karena bumi ini, dengan segala isinya, bukan benda mati. Ia bukan tambang yang bebas digali, bukan ladang yang bisa diperas tanpa batas.
Ia adalah tubuh hidup yang sedang menahan luka. Luka yang dalam. Luka karena keserakahan manusia yang tak tahu kapan berhenti.
Kalau kita masih memandangnya sebagai objek, kita tak akan pernah peduli ketika ia sakit. Tapi kalau kita mulai melihatnya sebagai makhluk spiritual yang hidup—kita akan mengerti: bahwa ia sesungguhnya sedang menangis, dan kita sendiri yang menyebabkan air matanya jatuh.
Sudah waktunya kita menghayati kembali bahwa bumi ini adalah ciptaan besar dari Tuhan—Sipanggombar Sipanggabe. Sebutan yang sarat makna. Sebab dari tangan-Nya lahirlah tanah subur tempat kita berpijak. Mata air yang tak pernah memilih siapa yang boleh minum. Udara yang memberi napas tanpa membeda-bedakan siapa yang menghirupnya.
Dan jangan lupa: setiap makhluk hidup yang berjalan di atas tanah ini—binatang, tumbuhan, bahkan batu yang diam—adalah bagian dari keluarga besar kita sendiri.
Ya, keluarga besar. Bukan hanya sekadar alat. Bukan sekadar properti. Dang marimbar par hasundutan nang par habinsaran. Kita bukan pemilik segalanya. Kita hanya penumpang dalam perjalanan panjang ciptaan ini.
Ini sebenarnya kalimat yang sangat sederhana. Tapi justru dalam kesederhanaannya, tersembunyi sesuatu yang besar: sebuah revolusi.
Bukan hanya revolusi pikiran, tapi juga revolusi teologis, revolusi ekologis, dan revolusi spiritualitas. Semua dalam satu: tona na uli.
Kita sering terbiasa melihat agama sebagai jalan menuju langit—kehidupan setelah mati, surga sebagai tujuan akhir.
Tapi melalui tona na uli ini, kita diajak mengubah arah pandang. Paus Fransiskus telah melakukannya lebih dulu. Ia menggeser pusat kesadaran spiritual: dari menatap langit, menuju menyentuh bumi.
Bumi sebagai amanah. Bumi sebagai tanggung jawab. Bumi sebagai tempat pengabdian manusia sebelum ia bicara soal keselamatan. Dan dalam konteks krisis iklim yang makin nyata hari ini, pesan ini menjadi sangat relevan. Dunia tidak sedang menuju perubahan biasa. Ia sedang menuju kekacauan—jika kita terus acuh.
Maka tona na uli ini bukan sekadar nasihat bijak. Ia adalah refleksi moral paling mendasar bagi siapa pun yang mau mendengar.
Ia seperti suara sunyi yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang bersedia berjalan pelan—seorang pejalan sunyi, berbaju putih bersih, dibalut ulos mangiring, dan ikatan tali Batak di kepalanya. Ia tidak berteriak. Ia hanya berjalan.
Tapi dalam langkahnya, ia menyimak: suara daun yang merintih, sungai yang tersedak limbah, pohon-pohon yang hilang, tanah yang retak, dan udara yang kehilangan nafasnya.
Bumi ini sedang mati pelan-pelan. Tapi ia belum menyerah. Ia masih berharap ada yang mau mendengarnya. Dan kita, kalau masih mengaku bagian dari ciptaan, seharusnya mulai menunduk dan mendengar juga.
Sesungguhnya, firman Tuhan tidak selalu hadir dalam bentuk tulisan. Ia tidak hanya datang lewat kitab-kitab suci yang kita baca di rumah ibadah.
Kadang, Tuhan berbicara lewat cara lain—lebih diam, tapi lebih terasa. Lewat alam yang sedang kesakitan. Ia berbicara lewat retakan tanah yang kekeringan. Lewat lereng-lereng yang longsor, hutan yang gundul, dan badai yang datang tiba-tiba dan memporakporandakan segalanya.
Ia hadir dalam banjir besar yang menghanyutkan rumah-rumah, dalam kemarau panjang yang membuat sawah menjadi padang debu, dan dalam cairnya es di ujung bumi bagian utara, yang selama ribuan tahun seharusnya tetap membeku.
Semua itu bukan sekadar fenomena alam. Mereka adalah peringatan yang hidup. Dan Tuhan sedang menyampaikan sesuatu di sana.
Pesannya jelas: amanah untuk menjaga bumi tidak bisa lagi ditunda, apalagi diabaikan. Sebab setiap suara alam yang rusak sesungguhnya adalah gema dari kelalaian kita sendiri.
Kalau kita benar-benar mendengarkan, maka kita akan tahu: Tuhan sedang bicara. Dan tugas kita bukan hanya mendengar, tetapi menjawabnya—dengan tindakan.
Yang Sudah Menikmati, Kini Waktunya Memperbaiki
Remedi sosial dan lingkungan adalah jalan tengah-bukan untuk menebus masa lalu, tapi untuk menata masa depan.
Oleh karena itu, mari kita hidupkan kembali pesan penting yang pernah disampaikan oleh Paus Fransiskus—pesan yang tidak hanya menyentuh sisi iman, tetapi juga nurani dan tanggung jawab ekologis kita sebagai manusia. Bahwa dosa ekologis bukanlah konsep abstrak atau sekadar istilah baru dalam diskursus teologi. Ia adalah luka yang nyata, menyayat bumi dan jiwa kita sekaligus.
Luka itu bukan metafora. Ia mewujud dalam penderitaan panjang yang tak terlihat dari balik layar gawai kita: tanah yang mati, udara yang kotor, sungai yang keruh, iklim yang kacau, dan generasi yang kehilangan harapan akan masa depan.
Dosa ekologis itu menyakitkan—karena kita sendirilah pelakunya. Maka kini saatnya kita berhenti membela diri. Saatnya berkata lantang kepada dunia: "Hai dunia! Jangan lagi mengukur nilai kehidupan hanya dari angka pertumbuhan ekonomi laba dan keuntungan jangka pendek!"
Kita harus berani menjadi suara sunyi yang selama ini diabaikan. Suara yang tak punya megafon, tapi jujur. Suara yang tak didengar di ruang bursa, tapi penting bagi keberlanjutan hidup: "Cukup! Hentikan sekarang juga. Jangan ditunda lagi!"
Kita tebus dosa itu bukan dengan sesal tanpa ujung, tapi dengan aksi nyata. Menanam kembali jutaan pohon endemik yang telah punah dari tanah kita. Menyemai harapan baru di tanah-tanah yang dulu dikoyak keserakahan. Menyusun kembali taman Eden—yang pernah Tuhan cintai ketika pertama kali Ia menciptakannya—bukan dengan retorika, tapi dengan tangan kita sendiri.
Karena memang, kerusakan sudah terjadi. Kita tidak menutup mata terhadapnya. Tapi kita juga tidak akan terus meratapinya.
Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memperbaikinya. Dan langkah pertama untuk memperbaiki, adalah dengan memahami akar kerusakannya.
Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak kita pahami. Kita harus menelusuri dari mana bencana ini bermula—apakah dari sistem ekonomi yang rakus, kebijakan yang abai, atau budaya konsumsi yang tak pernah cukup?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah. Tapi tanpa menjawabnya, kita hanya akan mengulang dosa yang sama—dengan wajah yang lebih modern, dan kerusakan yang lebih dalam.
Karena itu, jika muncul seruan lantang untuk menutup begitu saja perusahaan yang telah meruntuhkan jutaan pohon endemik (pohon na jolo i), langkah tersebut sejatinya belum bijak, belum tuntas, dan tentu belum marbisuk.
Sebaliknya, suara keras kita seharusnya mengarah kepada tuntutan pertobatan ekologis yang nyata dan bertanggung jawab.
Bagaimana caranya? Mereka wajib diberi ultimatum untuk menebus dosa ekologisnya dengan mengembalikan seluruh ekosistem yang telah rusak.
Mereka harus menanam kembali seluruh pepohonan asli endemik yang pernah hidup di sana—seperti jabi-jabi, bintatar, haminjon, maratti, dan berbagai jenis lainnya.
Tak hanya itu, mereka juga wajib memastikan bibit-bibit endemik tersebut tersedia, menghidupkan lagi mata air yang telah lama mati, dan membangkitkan sungai-sungai yang dahulu mengalirkan air jernih, tetapi kini kering akibat hilangnya pohon-pohon pelindungnya.
Inilah bentuk sejati penebusan dosa ekologis yang harus mereka lakukan. Sebab menutup perusahaan secara spontan tanpa tanggung jawab, sama artinya kita membiarkan kehancuran alam itu berjalan semakin parah, seperti membiarkan korban kecelakaan lalu lintas yang penuh luka dibiarkan tergeletak begitu saja.
Korban itu harus segera dibawa ke IGD, dirawat secara intensif, dibersihkan luka-lukanya, diberi oksigen, vitamin, dan obat-obatan lain hingga pulih. Setelah melalui masa kritis dan operasinya berhasil, barulah ia dipindahkan ke ruang perawatan untuk memulihkan diri secara perlahan hingga mampu berdiri dan berjalan lagi.
Langkah-langkah inilah yang lebih arif, lebih bertanggung jawab, dan lebih marbisuk demi menyembuhkan bumi yang kini tengah menderita.
Ekologi Adalah Khotbah yang Sesungguhnya
Kita semua mesti membumikan kembali “tonggo, pitta pitta”, doa yang tak lagi terbatas untuk keselamatan jiwa manusia saja, tetapi juga untuk memohon pemulihan tanah, kesegaran pohon-pohon, kembalinya mata air yang mengering, aliran sungai yang kembali hidup, kejernihan air danau, serta udara yang sehat dan layak dihirup.
Agama sudah waktunya berhenti hanya menjanjikan surga setelah mati, sementara pada saat bersamaan membiarkan bumi berubah menjadi neraka bagi generasi mendatang.
Karena itu, inilah saatnya kita menyuarakan dengan lantang: “Jadilah leluhur masa depan!”
Seruan ini bukanlah slogan kosong. Kita mesti menggerakkan para pemuka agama agar khotbahnya dari atas mimbar rumah ibadah menegaskan pentingnya menjaga bumi.
Para pemimpin mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati hingga Kepala Desa, para pebisnis hingga politisi agar beralih menggunakan energi terbarukan, mendukung pertanian organik, serta menolak proyek ekstraktif yang merusak ekosistem lokal.
Mari kita peluk erat para aktivis lingkungan, para pegiat budaya, pembibit tanaman dan penanam pohon, sama eratnya dengan cara kita merangkul mereka yang tak punya tempat berteduh.
Mengapa? Karena sesungguhnya mereka semua adalah korban dari sistem yang sama, sebuah sistem yang merampas kehidupan dan memutuskan “ponggol” ikatan suci antara manusia dan alam.
Kita seharusnya mulai menyadari satu hal penting: spiritualitas kita tidak akan pernah utuh jika kaki kita enggan menyentuh tanah. Karena bagaimana mungkin kita berbicara tentang Tuhan, jika kita kehilangan kedekatan dengan ciptaan-Nya yang paling nyata—bumi ini?
Hubungan kita dengan Tuhan tidak bisa dipisahkan dari cara kita memperlakukan tanah tempat kita berpijak, air yang menghidupi tubuh kita, pepohonan yang memberi kita naungan, serta udara yang kita hirup setiap detik. Itu semua bukan benda mati. Mereka bagian dari sistem kehidupan yang dirancang secara cermat oleh Sang Pencipta.
Kita tidak bisa mengaku mencintai Tuhan—Sang Pencipta langit dan bumi, jika pada saat yang sama kita merusak, mengeksploitasi, atau mengabaikan ciptaan-Nya.
Karena cinta sejati kepada Tuhan selalu tercermin dari sikap hormat kita terhadap ciptaan-Nya yang lain. Ingat kembali bagaimana kisah itu bermula. Setelah Tuhan menyelesaikan penciptaan-Nya—pohon-pohon, bunga-bunga, burung-burung, dan segala makhluk hidup yang menari dalam harmoni—Ia melihat semuanya baik, bahkan sangat baik. Lalu Ia memberinya nama: Taman Eden.
Dalam taman itu, Tuhan tidak menempatkan manusia sebagai pemilik, tetapi sebagai sahabat dan penjaga. Maka diciptakanlah Adam dan Hawa—bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pemelihara.
Mereka diberi tugas menjaga taman yang indah itu, taman yang menjadi lambang kasih Tuhan kepada bumi.
Hari ini, kita menyebut tempat ini dengan nama lain: Geopark Eden—atau dalam bahasa kita, luat na uli, surga yang terlihat nyata. Sebuah nama yang bukan hanya indah, tetapi juga mengandung tanggung jawab besar.
Karena ketika kita menyebut bumi ini sebagai "surga yang terlihat", itu berarti kita mengakui keindahannya, sekaligus berkomitmen menjaganya.
Sebab surga tidak diwariskan untuk dirusak, tapi untuk dirawat dan dilestarikan—dengan penuh rasa hormat, dengan kasih, dan dengan tindakan nyata.
Torsa dan turiturian ini bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah kontemplasi bersama, sekaligus harapan yang hidup.
Sebuah ajakan nyata agar kita kembali menyentuh akar terdalam dari spiritualitas yang selama ini barangkali terlupakan: kosmologi dari kebijaksanaan lokal.
Dalam konteks ini, Presiden Prabowo menyebutnya sebagai bentuk"kolaborasi"—bukan hanya antara negara dan masyarakat, tetapi antara iman dan alam, antara modernitas dan nilai-nilai leluhur.
Suatu pengakuan bahwa untuk menghadapi krisis global hari ini, kita tidak cukup hanya dengan teknologi. Kita butuh nilai. Kita butuh kearifan. Kita butuh jiwa.
Dalam Islam, alam dipandang sebagai bentuk rahmat Allah. Kasih sayang yang nyata. Dan manusia, sebagai khalifah, bukan penguasa absolut, tapi penjaga dan pelindung yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam Hindu, alam adalah manifestasi Brahman, zat ilahi yang hadir dalam setiap bentuk—batu, air, udara, api, dan pohon. Menyakiti alam sama artinya dengan menyakiti wujud Tuhan itu sendiri.
Dalam kearifan berbagai komunitas adat, tanah adalah ibu—yang memberi makan, tempat berlindung, dan tempat kembali ketika hidup berakhir.
Sungai adalah darah kehidupan—mengalirkan energi, menumbuhkan pohon, dan menghubungkan manusia dengan makhluk lain dalam satu siklus yang tidak boleh diputus.
Dan dari Barat, kita mengenang St. Fransiskus dari Assisi. Ia tak malu menyapa matahari sebagai saudara, dan bulan sebagai saudari.
Dalam pandangannya, semua ciptaan adalah bagian dari satu keluarga besar. Bukan sesuatu yang bisa dimiliki atau dikuasai, tapi sesuatu yang perlu dihormati dan dicintai.
Semua ini bukan ajaran yang usang. Mereka adalah jalan pulang bagi spiritualitas kita yang tercerai-berai.
Mari kita hidupkan kembali ajaran ini—bukan sebagai romantisme masa silam, tetapi sebagai pedoman hidup hari ini. Dalam kerja kita. Dalam kebijakan kita. Dalam cara kita melihat dunia.
Karena menjaga bumi bukanlah proyek satu agama, satu bangsa, atau satu generasi.Ia adalah tugas lintas keyakinan, lintas budaya, dan lintas zaman.
Ada yang terasa ganjil ketika menyusuri bentangan Geopark Kaldera Toba hari ini: jembatan-jembatan megah berdiri gagah, taman-taman tertata apik, gedung-gedung kokoh menjulang, namun sayangnya banyak dari infrastruktur itu diberi nama secara serampangan—asing dari akar budaya lokal, seakan melayang tanpa pijakan sejarah.
Infrastruktur yang tak bersentuhan dengan nama leluhur dan kearifan setempat ibarat anak yang tak kenal ayahnya sendiri; megah di mata, tetapi dingin di hati.
Akibatnya mudah ditebak: masyarakat setempat merasa tak memiliki, tak ada rasa keterikatan batin, lalu dengan perlahan menjauh, enggan merawat, dan akhirnya meninggalkan fasilitas-fasilitas itu sendirian dalam sunyi.
Sebuah jembatan yang kehilangan nama leluhurnya hanya akan jadi sepotong besi tanpa jiwa, taman tanpa cerita lokal akan menjadi ruang hampa tanpa penghuni, dan gedung tanpa jejak adat hanya jadi beton bisu yang kehilangan makna.
Padahal, bukankah kita pernah tahu bahwa infrastruktur, sebagaimana halnya sebuah rumah, hanya hidup jika ada denyut hangat dari orang-orang yang mencintainya?
Karena itulah kita mesti segera kembali ke titik asal, ke akar kebudayaan leluhur yang menjadikan bentangan Kaldera Toba istimewa.
Berilah nama-nama yang lahir dari rahim adat dan tradisi; jadikanlah jembatan sebagai penghubung dua kampung sekaligus dua generasi dengan menggunakan nama leluhur yang pernah menyatukan mereka; taman-taman diberi nama tumbuhan, hewan, atau kisah legenda yang dituturkan turun-temurun di tepi danau.
Sebab, infrastruktur berbasis local wisdom bukan sekadar simbol romantisme, tetapi sebuah strategi budaya untuk mengikat kembali masyarakat agar terpanggil menjaga dan mencintai lingkungan mereka sendiri.
Kita Bukan Tuan Atas Bumi, Hanya Tamu yang Harus Rendah Hati
Bumi adalah tubuh kita bersama. Ia bukan hanya tempat berpijak, tapi rumah besar di mana seluruh kehidupan saling terhubung dan saling merawat. Apa yang terjadi pada satu bagian dari bumi—pada sungai, pohon, atau udara—pasti berdampak pada bagian lainnya, termasuk kita sendiri.
Karena itu, memelihara bumi pada dasarnya adalah memelihara tubuh kita sendiri. Kita tidak bisa hidup sehat jika paru-paru kita rusak—begitu pula bumi tak akan mampu menopang hidup manusia jika hutannya habis, airnya kering, dan udaranya penuh racun.
Maka jalan kita ke depan seharusnya jelas: hidup berkelanjutan, bukan hidup yang menguras segalanya. Dan gaya hidup itu tidak harus datang dari luar, karena kita sudah memilikinya sejak lama—dalam bentuk kearifan lokal, tradisi budaya, dan adat istiadat yang mengajarkan harmoni dengan alam.
Kita mesti mulai kembali dari sana—dari nilai-nilai yang mengajarkan syukur yang tahu batas, bukan kerakusan yang tak kenal puas. Dari prinsip yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa, tapi sebagai penjaga yang bertanggung jawab.
Karena sesungguhnya, menanam pohon adalah menanam harapan. Menanam kehidupan. Sebaliknya, menebang pohon tanpa pernah menanam kembali adalah bentuk paling nyata dari penghancuran kehidupan itu sendiri.
Dan jika kita masih ingin menyebut bumi ini sebagai tempat tinggal yang layak bagi anak cucu kita kelak, maka jawabannya hanya satu: rawat dia, seperti kita merawat diri sendiri.
Sesungguhnya, kita bukan penguasa atas alam, melainkan saudara tua bagi seluruh makhluk hidup lainnya. Peran kita bukan untuk mengendalikan atau menguasai, tetapi untuk melindungi. Bukan untuk mengambil tanpa batas,tetapi untuk memberi—dalam keheningan, dengan penuh rasa hormat.
Karena itu, mari kita saling menginspirasi dan membangun kolaborasi yang tulus, sebab merawat bumi dan melestarikan budaya hanya mungkin terwujud dalam kebersamaan yang setia. Itulah makna dari ungkapan “satahi saoloan tu dolok tu toruan.”
Kesadaran ini tidak perlu menunggu gerakan besar. Cukup dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan dengan konsistensi: menanam pohon, menyemai bibit, membersihkan sampah, menghargai udara bersih, dan menikmati cahaya pagi dengan syukur.
Spiritualitas sejati tidak hanya ditentukan oleh berapa sering kita datang ke rumah ibadah, tetapi juga oleh seberapa dalam kita peduli terhadap lingkungan sekitar. Tidak membuang sampah ke Danau Toba, tidak meninggalkan plastik di kawasan Pussubuhit—itulah bentuk sembahyang yang juga harus dimaknai.
Kadang, spiritualitas bukanlah sesuatu yang tinggi dan jauh di langit, tetapi justru sangat dekat—di atas tanah, di sekitar kita, dalam suara tangis makhluk hidup yang selama ini kita abaikan.
Seperti nasib trenggiling, penjaga ekosistem yang tak bersuara, namun terus diburu dan diperdagangkan secara ilegal tanpa belas kasih. Dan disitulah sebenarnya nurani kita sedang diuji.
Holong adalah cinta. Tapi bukan cinta yang manis di bibir atau sekadar perasaan hangat yang pasif. Holong adalah hukum tertinggi—lebih tinggi dari segala aturan tertulis, lebih kuat dari sekadar janji atau doktrin.
Dan cinta ini tidak selalu tampil dalam bentuk yang indah. Ia sering hadir dalam wujud yang melelahkan: membasuh kaki yang berlumpur, menjahit luka-luka ditubuh bumi dengan menanam pohon-pohon kecil, atau memeluk mereka yang selama ini tersingkir dan terlupakan.
Karena agama sejati tidak hidup di menara-menara indah yang hanya menampung orang-orang suci. Agama sejati adalah tenda terbuka, tempat siapa pun bisa datang: para pendosa, pengungsi, pengemis, pencinta bumi, dan mereka yang sedang mencari makna hidup, meski belum menemukannya.
Itulah sebabnya, kita tidak menunggu dunia berubah lebih baik. Kita mulai dari yang bisa dilakukan hari ini: menyirami tanah dengan kasih sayang, mengulurkan tangan untuk menanam, bukan hanya menilai.
Kita rawat sesama dengan hati yang lembut, dan kita menerima perbedaan seperti menerima tubuh kita sendiri—dengan segala kekurangannya.
Sebab pada akhirnya, hanya satu hal yang akan terus bertahan: cinta. Ia adalah satu-satunya doktrin yang tak pernah mati. Dan dengan keyakinan, kasih, dan harapan itulah, Komunitas Rumahela terus melangsungkan Festival Wisata Edukasi Leluhur Batak ini—dari tahun ke tahun, tanpa jeda, tanpa pamrih, tanpa henti.
Karena dari semua hal yang bisa kita minta kepada Tuhan, ada satu yang tak pernah bisa kita minta: agar waktu berhenti, walau sekejap. Sebab waktu adalah hahomian ni Mulajadi—napas hidup dari Tuhan sendiri.
[Redaktur: Robert Panggabean]