Langkah Pelan, Tangan Menanam. Itulah Bentuk Kesetiaan
Dengan semangat yang tidak dibuat-buat, kita ingin semua yang datang kesini merasakan hal yang sama: sebuah kerinduan yang dalam, sebuah kesadaran yang jernih. Bahwa budaya bukan sekadar warisan simbolik, tapi napas yang harus terus hidup dalam tindakan sehari-hari.
Kita berkumpul bukan hanya karena sebuah acara. Kita datang dengan pakaian budaya, mengenakan ulos, diiringi lage-lage tiar, dan membawa nilai-nilai adat yang diajarkan sejak kecil.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah niat di baliknya. Kita datang untuk merawat, bukan sekadar memperingati. Kita datang untuk menjaga, bukan hanya memotret.
Kesetiaan itu tidak harus heboh. Ia bisa hadir dalam bentuk yang sederhana: senyum tulus, langkah pelan, dan tangan yang tetap menanam di tanah yang sama—sekali pun hasilnya belum terlihat. Itulah bentuk kasih yang sesungguhnya: holong na marsitutu.
Nilai-nilai ini penting. Sebab dunia di luar sana sedang berubah cepat. Banyak yang kehilangan arah, bahkan kehilangan pijakan. Di tengah gelombang besar itu, dua hal tetap bisa jadi kompas: cahaya ekologi spiritual, yang mengingatkan kita untuk menjaga hubungan dengan alam, dan cahaya inklusivitas, yang memeluk siapa pun, apa pun latar belakangnya.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Dua cahaya inilah yang kini kita bawa kembali ke rumah. Dan pesan Raja Isombaon di rumah parsaktiannya masih sangat relevan hari ini: “Hokkop ma tanom, paangur bona ni pinasam". Peliharalah tanaman dengan sungguh-sungguh, sebab di sanalah akar kehidupan kita sebenarnya.
Mengapa harus demikian? Karena bumi ini, dengan segala isinya, bukan benda mati. Ia bukan tambang yang bebas digali, bukan ladang yang bisa diperas tanpa batas.
Ia adalah tubuh hidup yang sedang menahan luka. Luka yang dalam. Luka karena keserakahan manusia yang tak tahu kapan berhenti.