Dari atas punggung bukitnya, Danau Toba membentang seperti cermin langit yang tak retak. Tenang. Biru. Megah. Ia memeluk tujuh wilayah adat yang tersusun rapi seperti doa dalam kitab yang tidak tertulis. Semua ini bukan kebetulan. Semua ini warisan. Dan warisan, jika tidak dijaga, hanya akan jadi debu sejarah.
Geopark, taman bumi, adalah wilayah yang menyatukan tiga pilar utama: keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity).
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Ketiga unsur ini saling terkait erat, saling menopang, dan tidak dapat dipisahkan. Menjaga geopark berarti menjaga bumi sekaligus memelihara identitas budaya manusia yang hidup diatasnya. Dan ketiga diversity itu sempurna ada di situs Parhutaan Rumahela.
Tahun 2021, dunia menyapanya: UNESCO menetapkan Geopark Kaldera Toba sebagai bagian dari surga kecil di bumi—Luat Nauli Mutik Ni Surgo.
Tapi dunia juga mengingatkan. Indonesia sempat diberi peringatan. Teguran halus berbentuk “kartu kuning”. Sebab taman surga ini dianggap kurang terawat, kurang dicintai, kurang dijaga.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Tapi ditengah semua itu, Rumahela tidak ikut mundur.
Ia tetap berdiri. Diam, tapi lantang. Tak banyak bicara, tapi setia menjadi bagian dari perjuangan panjang menjaga Kaldera Toba—jauh sebelum pujian dunia datang, sejak Presiden SBY menetapkannya sebagai Geopark Nasional pada 2014.
Itulah sebabnya kita tidak boleh menyerah. Karena situs ini bukan hanya soal masa lalu, Ia adalah tentang bagaimana kita menjaga masa depan.