Mari kita hidupkan kembali ajaran ini—bukan sebagai romantisme masa silam, tetapi sebagai pedoman hidup hari ini. Dalam kerja kita. Dalam kebijakan kita. Dalam cara kita melihat dunia.
Karena menjaga bumi bukanlah proyek satu agama, satu bangsa, atau satu generasi.Ia adalah tugas lintas keyakinan, lintas budaya, dan lintas zaman.
Baca Juga:
Bupati Pakpak Bharat Bagi Paket Bansos untuk Anak Yatim dan JKM
Ada yang terasa ganjil ketika menyusuri bentangan Geopark Kaldera Toba hari ini: jembatan-jembatan megah berdiri gagah, taman-taman tertata apik, gedung-gedung kokoh menjulang, namun sayangnya banyak dari infrastruktur itu diberi nama secara serampangan—asing dari akar budaya lokal, seakan melayang tanpa pijakan sejarah.
Infrastruktur yang tak bersentuhan dengan nama leluhur dan kearifan setempat ibarat anak yang tak kenal ayahnya sendiri; megah di mata, tetapi dingin di hati.
Akibatnya mudah ditebak: masyarakat setempat merasa tak memiliki, tak ada rasa keterikatan batin, lalu dengan perlahan menjauh, enggan merawat, dan akhirnya meninggalkan fasilitas-fasilitas itu sendirian dalam sunyi.
Baca Juga:
Lepas Kirab Kenderaan Peringatan Harganas ke-32, Ini Kata Wabup Dairi
Sebuah jembatan yang kehilangan nama leluhurnya hanya akan jadi sepotong besi tanpa jiwa, taman tanpa cerita lokal akan menjadi ruang hampa tanpa penghuni, dan gedung tanpa jejak adat hanya jadi beton bisu yang kehilangan makna.
Padahal, bukankah kita pernah tahu bahwa infrastruktur, sebagaimana halnya sebuah rumah, hanya hidup jika ada denyut hangat dari orang-orang yang mencintainya?
Karena itulah kita mesti segera kembali ke titik asal, ke akar kebudayaan leluhur yang menjadikan bentangan Kaldera Toba istimewa.