Jika ini disebut korupsi, yang menikmati duitnya adalah para penyelundup, pengoplos, dan para pengusaha nakal. Selagi subsidi diberikan secara terbuka, penyimpangan akan selalu terjadi.
Tetapi, ini ranah kebijakan Pemerintah, bukan Pertamina. Selain itu, penyaluran subsidi BBM bukan kasus yang sidang disidik Kejakgung.
Baca Juga:
Bahaya Kopi Saat Sahur: Dehidrasi dan Gangguan Pencernaan Mengintai
Setelah kita urai satu-satu, dasar klaim kerugian Kejakgung kurang kuat. Angkanya cenderung bombastis, yang menyulut kemarahan publik.
Klaim kerugian negara dari ekspor sulit dimengerti. Klaim kerugian negara dari angka kompensasi dan subsidi BBM tidak bisa berbasis data makro.
Kejakgung perlu membuktikan, berapa kerugian aktual negara dari dana kompensasi akibat praktik impor yang bermasalah dan apa hubungannya dengan tuduhan oplos BBM itu.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
Yang paling masuk akal adalah klaim kerugian dari importase minyak mentah dan BBM. Semua orang tahu, bisnis pengadaan minyak melibatkan jaringan pemburu rente yang menggurita. Dari setiap barel yang diimpor, ada fee makelar yang membuat biaya pengadaan kemahalan.
Masalahnya, Indonesia masih harus impor karena produksi minyak dan kapasitas kilang dalam negeri tidak cukup. Publik mendukung proses hukum untuk memberantas mafia minyak.
Tetapi, aparat penegak hukum perlu bertindak cantik: bagaimana menangkap ikan tanpa membuat airnya keruh.