DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Publik geram ketika Kejaksaan Agung merilis potensi kerugian negara dari kasus korupsi Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun.
Di media sosial, beradar meme klasemen liga korupsi di Indonesia, yang menempatkan korupsi Pertamina di papan kedua setelah PT Timah.
Baca Juga:
Delapan Perwira Terbaik TNI-Polri Raih Adhi Makayasa di Hadapan Presiden Prabowo
Kejakgung menyebut, potensi kerugian itu berdasarkan taksiran tahun 2023. Jika pola korupsi berlangsung selama 2018-2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun.
Publik marah karena membayangkan uang sebanyak itu masuk ke kantong pribadi para pejabat Pertamina dan mitra usahanya. Mereka menikmati duit haram itu dengan cara merugikan konsumen yang membeli BBM dengan kualitas ‘oplos.’
Korupsi harus ditindak, semua orang menghormati proses hukum di Kejaksaan Agung. Tetapi, publik berhak tahu basis perhitungan kerugian negara dan menaksir taksiran nilai kerugian oleh para penyidik.
Baca Juga:
Presiden Soroti Pasal 33 UUD 1945 sebagai Dasar Negara Wujudkan Keadilan Sosial
Betulkah nilainya sefantastis itu? Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengklaim kerugian itu berasal dari lima sumber, yaitu ekspor minyak mentah (Rp 35 triliun), impor minyak mentah melalui broker (Rp 2,7 triliun), impor BBM melalui broker (Rp 9 triliun), kompensasi BBM (Rp126 triliun), dan subsidi BBM (Rp 21 triliun).
Mari kita periksa satu-satu. Pertama, kerugian akibat ekspor minyak mentah. Ekspor adalah kegiatan yang sudah lama terjadi.
Dalam catatan statistik kolonial, ekspor minyak Hindia Belanda telah dilakukan sejak 1906. Jumlahnya 3,4 juta barel. Ekspor dilakukan dari sisa lebih produksi yang tidak dikonsumsi.