Dari mana klaim kerugian Rp126 triliun itu? Angka ini kemungkinan berasal dari anggaran kompensasi energi 2023, mencakup kompensasi BBM dan listrik.
Masalahnya, kompensasi listrik tidak termasuk kasus yang sedang disidik Kejakgung. Kompensasi dinikmati oleh semua pengguna. Jika itu disebut korupsi, dana itu dinikmati oleh semua konsumen.
Baca Juga:
Bahaya Kopi Saat Sahur: Dehidrasi dan Gangguan Pencernaan Mengintai
Penerima manfaat kompensasi memang belum tepat sasaran. Banyak dari pembeli Pertalite adalah golongan masyarakat yang tidak berhak.
Kejakgung menduga Pertamina ‘mengoplos’ Ron 90 dan 92 dan menjualnya dengan harga 92. Jika itu yang terjadi, selisih harga produk di luar mutu yang dijual Pertamina tidak termasuk kompensasi, karena RON 92 adalah jenis BBM umum.
Dia bukan kerugian negara, tetapi kerugian konsumen. Di poin ini, klaim atas potensi kerugian negara tidak sesuai dengan data konsumsi dan kompensasi yang sudah diaudit BPK.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
Kelima, kerugian akibat penyimpangan subsidi sebesar Rp 21 triliun. Angka ini kemungkinan diperoleh dari realisasi subsidi BBM tahun 2023 sebesar Rp 20,9 triliun.
Subsidi BBM mencakup minyak tanah dan solar. Subsidi BBM, terutama solar, memang tidak tepat sasaran. Penerima manfaatnya bukan golongan sebagaimana dimaksud oleh Perpres No. 191 Tahun 2014.
Petani dan nelayan kecil justru kesulitan mengakses solar subsidi. Dalam RDP di DPR (28/3/2022), petinggi Pertamina mengaku solar subsidi bocor ke industri besar seperti tambang dan sawit.