Dari mana asal-usul taksiran itu? Berdasarkan data BPS, ekspor minyak mentah tahun 2023 adalah 21,2 juta barel. Dengan rata-rata harga minyak US$82,64 per barel dan nilai tukar Rp15.416/US$, nilai ekspor mencapai Rp 27 triliun.
Jika kerugian negara dihitung dari selisih harga perolehan Pertamina berdasarkan harga minyak dunia dan ICP, selisihnya hanya Rp 1,36 triliun.
Baca Juga:
Bahaya Kopi Saat Sahur: Dehidrasi dan Gangguan Pencernaan Mengintai
Ini diperoleh dari volume minyak (21,2 juta barel) x rata-rata harga ICP US$78,43 per barel x Rp15.416. Ekspor yang dilakukan KKKS tidak bisa dianggap kerugian negara, karena itu jatah mereka.
Di poin ini, estimasi kerugian negara sebesar Rp 35 triliun terlihat overestimate. Jika ekspor minyak mentah dianggap sebagai kerugian negara, klaim kerugian itu bahkan lebih besar dari total nilai ekspor 2023. Ini tidak masuk akal.
Kedua, kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker. Impor dilakukan karena produksi dalam negeri tidak cukup. Sebagaimana ekspor, impor adalah kegiatan yang sudah lama terjadi.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
Dalam catatan statistik kolonial, impor minyak mentah dilakukan Hindia Belanda sejak 1880. Jumlahnya 375 ribu barel. Angkanya terus naik, seiring kenaikan konsumsi.
Pada 2023, impor minyak mentah mencapai 133 juta barel. Nilainya mencapai US$11,1 miliar atau setara dengan Rp 171,8 triliun.
Hampir semua impor minyak mentah dilakukan Pertamina, karena hanya Pertamina yang punya kilang untuk mengolahnya.