Di poin ini, Kejakgung menyebut potensi kerugiannya sebesar Rp 2,7 triliun. Ini bersumber dari selisih harga impor dengan harga pembelian Pertamina kali produksi dalam negeri yang tidak dibeli. Klaim ini terlihat seperti duplikasi kerugian poin pertama.
Jika basis kerugian dihitung dari brokerage fee sebesar US$2 per barel, potensi kerugian negara adalah Rp 4,1 triliun. Ini diperoleh dari perkalian kutipan makelar per barel kali volume impor. Ini masih masuk akal.
Baca Juga:
Bahaya Kopi Saat Sahur: Dehidrasi dan Gangguan Pencernaan Mengintai
Ketiga, kerugian akibat impor BBM melalui broker. Menurut BPS, impor produk kilang pada 2023 mencapai 204,2 juta barel, dengan nilai sebesar US$21 miliar atau setara dengan Rp323,9 triliun.
Kejakgung menyebut potensi kerugiannya sebesar Rp 9 triliun. Ini berasal dari selisih harga impor dengan harga produksi dalam negeri kali volume produksi.
Seperti poin kedua, potensi kerugian dihitung dari brokerage fee sebesar US$2 per barel kali volume. Rente yang diperoleh broker adalah Rp 6,3 triliun. Angka ini masih masuk akal dengan rentang brokerage fee sebesar US$2-4 per barel.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
Keempat, kerugian akibat penyimpangan dana kompensasi BBM sebesar Rp 126 triliun. Klaim kerugian ini besar sekali, sekaligus paling tidak jelas dasar perhitungannya.
Kompensasi diberikan kepada BBM khusus penugasan, yaitu Pertalite. Diberikan sejak 2020, kompensasi diberikan atas selisih kurang harga penetapan Pemerintah dengan harga jual Pertamina.
Pada 2023, kompensasi BBM mencapai Rp 83 triliun. Dengan realisasi penyaluran 30 juta kl, Pertamina mendapat kompensasi sebesar Rp 2.768 per liter dari setiap Pertalite yang tersalur.