Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 1978 sebesar 509,9 juta barel. Angkanya terus menurun, terlebih ketika Indonesia resmi beralih status menjadi nett oil importer.
Pada 2023, ekspor minyak mentah tinggal 21,2 juta barel atau 58 ribu barel per hari. Nilainya mencapai US$ 1,75 miliar. Yang jadi masalah: Indonesia nett oil importer, kenapa masih mengekspor minyak produksi dalam negeri?
Baca Juga:
Bahaya Kopi Saat Sahur: Dehidrasi dan Gangguan Pencernaan Mengintai
Jawaban yang paling masuk akal adalah ekspor dilakukan oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).
Sesuai kontrak, mereka hanya wajib pasok kebutuhan dalam negeri (DMO) sebesar 25 persen dari produksi, dengan harga diskon. Sisanya adalah proses komersial. KKKS bisa saja melepas produksinya ke domestik dengan harga sesuai mekanisme pasar.
Pemerintah, melalui Permen ESDM No. 42 Tahun 2018, memerintahkan Pertamina mencari pasokan minyak domestik sebelum merencanakan impor.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
KKKS, di sisi lain, diminta untuk menawarkan minyak bagian produksi mereka ke Pertamina, paling lambat tiga bulan sebelum pengajuan ekspor.
Dalam penyidikan, Kejakgung menemukan indikasi Pertamina enggan menyerap minyak bagian KKKS untuk melanggengkan impor yang bermasalah.
Ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 35 triliun. Angka itu diperolah dari selisih harga ekspor dengan harga pembelian dalam negeri dikalikan volume ekspor plus biaya kemahalan.