Dinarasikan, dalam setiap benang yang dijahit terkandung harapan orang tua. Dalam setiap lipatan kain itu terjalin doa-doa yang tak pernah putus.
Pendidikan bukan sekadar jalan. Dia adalah urat nadi yang mengalirkan martabat menjadi pemantik semangat yang tak boleh padam. Dia energi besar.
Baca Juga:
Hotman Paris Mendadak Sakit, Sidang dengan Razman Nasution Ditunda Sepekan
Lalu ada satu lagi perbedaan yang harus diketahui, ketika anak-anak ini meninggalkan orang tuanya, diantarkan menuntut ilmu pengetahuan.
Ada tiga kejadian yang dapat dibuat bertahap. Di tahun 80-an di pelabuhan Belawan, Kapal Motor (KM) Kambuna atau Tampomas, di situ banyak sekali anak-anak yang dilepaskan orang tuanya mengantarkan sekolah nun jauh ke pulau Jawa, harus menyebrang laut. Atau di terminal-terminal bis di kota-kota besar, bis ALS.
"Saya misalnya di Kisaran, di Asahan, harus naik ALS pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolah saya di Universitas Padjadjaran Bandung," sebut Hinca.
Baca Juga:
Pilu di Ujung Samudera: 157 Paus Terdampar, Eutanasia Jadi Pilihan Terakhir
Belakangan terakhir ini, tentu di bandara. Dulu Bandara Polonia, sekarang Kualanamu. Di setiap eskalator akan terdengar bisik-bisik kata yang diucapkan, bahkan air mata jatuh mengiringinya tak bisa dibendung.
Itulah titik terakhir dimana orangtua bisa menatap anaknya yang hendak pergi merantau menuntut pendidikan yang lebih tinggi.
Tidak ada pelukan panjang ada kata-kata yang berbunga hanya lambaian tangan yang perlahan menjauh terkadang disertai teriakan terakhir, jangan lupa makan ya nak. Begitulah kita mendengarkan kata orang tua melepaskan anaknya untuk menuntut ilmu.