Bukan foto tentang kelahiran, bukan pula potret perayaan-perayaan lainnya, yang hanya sekedar biasa.
Sebab dalam satu jepretan itu terpatri ribuan malam tanpa tidur dan keringat yang jatuh di ladang, serta doa-doa panjang yang membubung tanpa henti.
Baca Juga:
Hotman Paris Mendadak Sakit, Sidang dengan Razman Nasution Ditunda Sepekan
Disanalah keabadian sebuah keberhasilan digantungkan, menjadi bukti nyata bahwa ilmu adalah pusaka yang tak ternilai.
Pendidikan bagi mereka bukan sekedar alat untuk mencari pekerjaan. Pendidikan adalah satu-satunya cara agar seseorang bisa benar-benar ada, benar-benar eksis dalam kehidupannya, agar ia tidak dihimpit oleh zaman, agar namanya tak lenyap begitu saja seperti buih di permukaan air sungai.
Maka para ibu rela menjual emas satu-satunya, mungkin cincin kawin nya. Para ayah rela menahan lapar, hanya demi memastikan anak-anak mereka tetap bisa duduk di bangku sekolah.
Baca Juga:
Pilu di Ujung Samudera: 157 Paus Terdampar, Eutanasia Jadi Pilihan Terakhir
Hinca menguraikan, di jamannya, ada 2 momen yang ditunggu oleh anak orang Batak dan itu adalah kemewahan menurutnya.
Yaitu, pertama, dibelikan baju baru untuk membaca liturgi di acara natal yang ditunggu-tunggu setiap tahun, dan yang kedua, seragam sekolah yang baru.
"Sekali setahun udah bagus beli seragam baru, karena itu kami tunggu. Itulah harta karun bagi anak-anak Batak, simbol bahwa mereka telah siap menjejak dunia, bahwa mereka telah diberi hak untuk bermimpi dan menuntut ilmu," ujar Hinca.