Begitu lagu ini dan tidak ada seorangpun orang Batak yang tidak tahu lagu ini. Dalam pesta, dalam upacara tentang anak, ini menjadi penyemangat, ini menjadi energi.
Orang-orang tua di sana tak punya emas untuk diwariskan. Mereka tak punya tanah yang luas yang bisa dibagi-bagikan ke anak-anaknya.
Baca Juga:
Hotman Paris Mendadak Sakit, Sidang dengan Razman Nasution Ditunda Sepekan
Yang mereka punya hanyalah harapan dan sepasang tangan yang tak pernah lelah bekerja di pasar, di ladang, di sepanjang jalanan kota.
Mereka mencari uang yang bisa disisihkan agar anak-anaknya bisa sekolah, bisa menulis namanya sendiri dengan bangga, bisa memahami dunia yang lebih luas dari sekedar batas-batas kampung halaman nun jauh disana.
Jika ada satu hal yang selalu menyambut ketika seseorang melangkah masuk ke rumah orang Batak, itu bukanlah ukiran mewah atau pajangan antik.
Baca Juga:
Pilu di Ujung Samudera: 157 Paus Terdampar, Eutanasia Jadi Pilihan Terakhir
"Ada satu benda yang selalu hadir di dinding rumah mereka juga di rumah saya, potret wisuda anak-anaknya," kata Hinca.
Sebuah kanvas yang membingkai kebanggaan, harapan dan pengorbanan. Foto itu bukan sekedar dekorasi ruang tamu, melainkan monumen kecil dari kerja keras yang terbayar lunas.
Tidak ada yang lebih dihormati dibandingkan momen ketika seorang anak mengenakan toga, menggenggam ijazah dengan kepala tegak.