DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Tahukah kalian? Setiap suku bangsa di Indonesia ternyata menaruh perhatian yang berbeda-beda terhadap pendidikan.
Biro Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan, sepanjang tahun 2024, datanya, ternyata menunjukkan suku yang paling menaruh perhatian pada pendidikan adalah suku Batak.
Baca Juga:
Hotman Paris Mendadak Sakit, Sidang dengan Razman Nasution Ditunda Sepekan
Demikian pernyataan akademisi Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. dalam video yang diunggah akun YouTube Hinca IP Panjaitan XIII dengan judul "Mengapa suku Batak menjadi pencetak sarjana terbanyak?"
Hinca pun menanggapi pernyataan Rhenald Kasali itu.
"Saya tergelitik dengan Profesor Rhenald Kasali karena di ujung dari apa yang dinarasikannya, dia meminta tanggapan dan pandangan," kata Hinca mengawali.
Baca Juga:
Pilu di Ujung Samudera: 157 Paus Terdampar, Eutanasia Jadi Pilihan Terakhir
"Karena ini positif untuk energi kita, mendorong anak-anak kita, anak-anak bangsa ini, menempatkan pendidikan sebagai masa depan, karena itu, ijinkan saya Dr Hinca Pandjaitan XIII, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat yang berasal dari Sumatera Utara untuk memberikan narasi tambahan tentang mengapa orang Batak begitu concern dan serius sekali soal pendidikan bagi anak-anaknya," lanjut Hinca, kemudian menyampaikan narasinya.
Menurut Hinca, di dunia yang sudah lama tak berpihak pada mereka yang miskin, tak ada harta yang lebih besar daripada pengetahuan. Di tanah Batak, tempatnya lahir, besar dan tumbuh, di Sumatera Utara, ini sudah hukum yang tak tertulis.
Dalam bahasa Batak bahkan dinyanyikan menjadi sebuah lagu, Anakhon hi do hamoraon di au (Anakku adalah kehormatan, anakku adalah satu-satunya kekayaan).
Begitu lagu ini dan tidak ada seorangpun orang Batak yang tidak tahu lagu ini. Dalam pesta, dalam upacara tentang anak, ini menjadi penyemangat, ini menjadi energi.
Orang-orang tua di sana tak punya emas untuk diwariskan. Mereka tak punya tanah yang luas yang bisa dibagi-bagikan ke anak-anaknya.
Yang mereka punya hanyalah harapan dan sepasang tangan yang tak pernah lelah bekerja di pasar, di ladang, di sepanjang jalanan kota.
Mereka mencari uang yang bisa disisihkan agar anak-anaknya bisa sekolah, bisa menulis namanya sendiri dengan bangga, bisa memahami dunia yang lebih luas dari sekedar batas-batas kampung halaman nun jauh disana.
Jika ada satu hal yang selalu menyambut ketika seseorang melangkah masuk ke rumah orang Batak, itu bukanlah ukiran mewah atau pajangan antik.
"Ada satu benda yang selalu hadir di dinding rumah mereka juga di rumah saya, potret wisuda anak-anaknya," kata Hinca.
Sebuah kanvas yang membingkai kebanggaan, harapan dan pengorbanan. Foto itu bukan sekedar dekorasi ruang tamu, melainkan monumen kecil dari kerja keras yang terbayar lunas.
Tidak ada yang lebih dihormati dibandingkan momen ketika seorang anak mengenakan toga, menggenggam ijazah dengan kepala tegak.
Bukan foto tentang kelahiran, bukan pula potret perayaan-perayaan lainnya, yang hanya sekedar biasa.
Sebab dalam satu jepretan itu terpatri ribuan malam tanpa tidur dan keringat yang jatuh di ladang, serta doa-doa panjang yang membubung tanpa henti.
Disanalah keabadian sebuah keberhasilan digantungkan, menjadi bukti nyata bahwa ilmu adalah pusaka yang tak ternilai.
Pendidikan bagi mereka bukan sekedar alat untuk mencari pekerjaan. Pendidikan adalah satu-satunya cara agar seseorang bisa benar-benar ada, benar-benar eksis dalam kehidupannya, agar ia tidak dihimpit oleh zaman, agar namanya tak lenyap begitu saja seperti buih di permukaan air sungai.
Maka para ibu rela menjual emas satu-satunya, mungkin cincin kawin nya. Para ayah rela menahan lapar, hanya demi memastikan anak-anak mereka tetap bisa duduk di bangku sekolah.
Hinca menguraikan, di jamannya, ada 2 momen yang ditunggu oleh anak orang Batak dan itu adalah kemewahan menurutnya.
Yaitu, pertama, dibelikan baju baru untuk membaca liturgi di acara natal yang ditunggu-tunggu setiap tahun, dan yang kedua, seragam sekolah yang baru.
"Sekali setahun udah bagus beli seragam baru, karena itu kami tunggu. Itulah harta karun bagi anak-anak Batak, simbol bahwa mereka telah siap menjejak dunia, bahwa mereka telah diberi hak untuk bermimpi dan menuntut ilmu," ujar Hinca.
Dinarasikan, dalam setiap benang yang dijahit terkandung harapan orang tua. Dalam setiap lipatan kain itu terjalin doa-doa yang tak pernah putus.
Pendidikan bukan sekadar jalan. Dia adalah urat nadi yang mengalirkan martabat menjadi pemantik semangat yang tak boleh padam. Dia energi besar.
Lalu ada satu lagi perbedaan yang harus diketahui, ketika anak-anak ini meninggalkan orang tuanya, diantarkan menuntut ilmu pengetahuan.
Ada tiga kejadian yang dapat dibuat bertahap. Di tahun 80-an di pelabuhan Belawan, Kapal Motor (KM) Kambuna atau Tampomas, di situ banyak sekali anak-anak yang dilepaskan orang tuanya mengantarkan sekolah nun jauh ke pulau Jawa, harus menyebrang laut. Atau di terminal-terminal bis di kota-kota besar, bis ALS.
"Saya misalnya di Kisaran, di Asahan, harus naik ALS pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolah saya di Universitas Padjadjaran Bandung," sebut Hinca.
Belakangan terakhir ini, tentu di bandara. Dulu Bandara Polonia, sekarang Kualanamu. Di setiap eskalator akan terdengar bisik-bisik kata yang diucapkan, bahkan air mata jatuh mengiringinya tak bisa dibendung.
Itulah titik terakhir dimana orangtua bisa menatap anaknya yang hendak pergi merantau menuntut pendidikan yang lebih tinggi.
Tidak ada pelukan panjang ada kata-kata yang berbunga hanya lambaian tangan yang perlahan menjauh terkadang disertai teriakan terakhir, jangan lupa makan ya nak. Begitulah kita mendengarkan kata orang tua melepaskan anaknya untuk menuntut ilmu.
Di eskalator itu seorang ibu menahan isaknya, seorang ayah menghela nafas panjang mencoba menyembunyikan kepedihan dibalik ketegarannya.
Dari kampung mereka datang berbondong-bondong bukan untuk berlibur, bukan sekedar melepas rindu, melainkan untuk mengantarkan anak-anak mereka ke dunia baru, dunia yang diyakini akan membawa perubahan.
Eskalator itu menjadi garis batas antara masa lalu dan masa depan antara Kampung halaman yang penuh kehangatan dan kota besar yang menanti dengan segala ketidakpastian.
Dan di eskalator itulah sebuah perjalanan dimulai. Perjalanan yang penuh harapan, doa dan pengorbanan yang tak terhitung.
Usaha yang tak pernah putus, tentu menghasilkan hasil yang terbaik. Begitulah orang Batak memberangkatkan anak-anaknya sekolah.
"Profesor Rhenald Kasali, narasi saya ini melengkapi narasimu kepada masyarakat Indonesia dimanapun berada," ujar Hinca.
Hinca pun mengajak semua orang tua, sahabat, menyatukan energi apapun yang dipunya, menyekolahkan anak.
"Sekolahkanlah anakmu, karena pendidikan adalah segalanya. Agar anak-anak kita, tetap ada, tetap eksis, tetap punya masa depan, tentu diiringi semangat dan doa," tutup Hinca.
[Redaktur : Robert Panggabean]