Sebagai salah satu implementansinya adalah perumusan delik korupsi sebagaimana dirumuskan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Anti Korupsi).
Pada pasal 2 ayat 1 terdapat rumusan secara melawan hukum, melakukan perbuatan, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Baca Juga:
Wakil Bupati Karo Bersama Sekum Moderamen GBKP Bahas dan Dorong Kolaborasi Untuk Tanah Karo Tetap Kondusif,Warga Tidak Terprovokasi
Pada pasal 3 terdapat rumusan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Inti dari rumusan delik tersebut terhadap tindakan setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum dan bagi yang memiliki jabatan atau kedudukan dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya berdampak pada timbulnya kerugian keuangan negara, maka dapat diminta pertanggungjawaban pidana sebagai pihak yang melakukan atau turut melakukan korupsi tanpa harus dibuktikan yang bersangkutan menikmati atau turut menikmati kerugian keuangan negara yang timbul.
Penutup
Perumusan delik sebagaimana diuraikan tentunya oleh pembuat undang-undang sudah dipertimbangkan secara komprehensif dihubungkan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai White Collar Crime yang melibatkan para intelektual dan orang yang memiliki kekuasaan, sehingga sangat berpotensi mampu memanipulasi atau menyamarkan bukti-bukti atas suatu perbuatan.
Baca Juga:
25 Persen Anak Usia Dini Belum Terlindungi Jaminan Kesehatan, BKKBN Dorong Akselerasi Program 3 Zeros
Akan tetapi pada saat seseorang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum yang menurut Van Bemmelen diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, atau melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang berdampak pada timbulnya kerugian keuangan negara, dipastikan hal tersebut dilakukan dengan motif tertentu terlepas dapat atau tidaknya motif tersebut dibuktikan.
Untuk itu, dengan mempertimbangkan tujuan pidana menurut Teori relatif yakni menegakkan ketertiban masyarakat dan sedini mungkin untuk mencegah kejahatan, pidana dapat dijatuhkan tanpa dibuktikan yang bersangkutan menikmati atau turut menikmati kerugian keuangan negara yang timbul dalam suatu tindak pidana korupsi sebagaimana putusan terhadap Tom Lembong yang dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan persetujuan impor Gula Kristal Mentah (GKM) yang menimbulkan kerugian keuangan negara sejumlah Rp.194,71 miliar.
*Penulis adalah Kanit 3 Subdit III Ditreskrimsus Polda Sumut/Dosen Hukum Pidana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Darma Agung Medan