Keinginan VS HAM
Merupakan sesuatu yang sangat jamak terjadi bahwa korban atau pelapor dari suatu peristiwa pidana mengkehendaki untuk pihak yang diterangkan sebagai pelaku dapat segera ditangkap dan dipenjarakan.
Secara psikologis keinginan tersebut tentu dapat dimaklumi karena seseorang yang mengalami suatu peristiwa yang dikualifikasi sebagai tindak pidana tentunya mengkehendaki agar pihak lain yang menimbulkan derita atau kerugian bagi dirinya dapat segera menerima pembalasan berupa penderitaan juga.
Baca Juga:
Kasus Bansos Kemensos: KPK Tetapkan 5 Tersangka, Kerugian Rp200 Miliar
Cara berpikir tersebut dipengaruhi tujuan hukum pidana pada KUHP Indonesia yang berlaku sejak lama berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda yang disadur dari Code Penal Prancis Tahun 1810 mulai diberlakukan di Belanda pada tahun 1886 tepatnya pada era aliran klasik sebagai reaksi digulingkannya rezim kuno (ancien regime) yang absolut dan sewenang-wenang di Prancis dalam revolusi Prancis, kemudian pada tahun 1918 dengan asas konkordansi diberlakukan juga di Hindia-Belanda.
Tujuan pidana pada aliran klasik menganut teori absolut dengan prinsip pembalasan (retributif) sebagai legitimasi pemidanaan, pidana dijatuhkan kepada pelaku karena mereka layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka dengan fokus perlindungan kepentingan individu.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia dan jaminan setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka terhadap hukum acara pidana yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku sejak tahun 1941 dinyatakan dicabut karena dianggap tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca Juga:
9,4 Juta Produk Bersertifikat Halal, BPJPH Janjikan Perlindungan Lebih untuk Konsumen
KUHAP dianggap lebih menjungjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip due proces of law dalam proses penegakan hukum (pidana) yang dijalankan.
Due process of law oleh Marjono Reksodiputro diartikan sebagai proses hukum yang adil dengan cara penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal dan juga mengandung jaminan hak atas kemerdekaan seorang warga negara.
M.Yahya Harahap menyatakan bahwa sepuluh asas yang terdapat pada KUHAP menganut prinsip due proces of law dimana proses hukum yang fair bagi tersangka atau terdakwa adalah didengar pandangannya tentang bagaimana peristwa kejahatan itu terjadi.