DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Seorang ibu rumah tangga di Bekasi Selatan, Kota Bekasi, berinisial D (26) mengadu ke petugas pemadam kebakaran (damkar) melalui call center 112 usai laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya dan dilaporkan pada Jumat, 20 Juni 2025, menurutnya tak kunjung ditindaklanjuti kepolisian.
Yang bersangkutan mengaku terpaksa mengadu ke damkar karena dirinya frustasi, bahkan sempat berniat bunuh diri akibat laporannya tak ditindaklanjuti.
Baca Juga:
Kasus Bansos Kemensos: KPK Tetapkan 5 Tersangka, Kerugian Rp200 Miliar
"Saya bikin aduan polisi, tapi belum ada tanggapan. Jadi saya langsung lapor damkar karena kepala saya sakit dan saya juga sudah depresi dan mau bunuh diri," kata yang bersangkutan saat ditemui di wilayah Bekasi Selatan, (Kompas.com, Selasa, 24 Juni 2025).
Pemberitaan tersebut mendapat aneka respon di media sosial, secara umum memberikan apresiasi kepada pihak Damkar yang telah memberikan respon cepat dengan mendatangi rumah yang bersangkutan dan memberikan konseling, sehingga yang bersangkutan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Respon cepat tentunya merupakan wujud profesionalisme dari Damkar dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, berhubung pada Pasal 7 huruf c Permendagri Nomor 16 Tahun 2020, selain melakukan pencegahan, pengendalian, pemadaman, penyelamatan dan penanganan bahan berbahaya dan kebakaran, Damkar juga bertugas menyelenggarakan penyelamatan dan evakuasi pada kejadian darurat non kebakaran, percobaan bunuh diri tentu dapat dikualifikasi sebagai kejadian darurat non kebakaran.
Baca Juga:
9,4 Juta Produk Bersertifikat Halal, BPJPH Janjikan Perlindungan Lebih untuk Konsumen
Di sisi lain, Polres Bekasi membantah telah mengabaikan laporan seorang ibu berinisial D (26), yang diduga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Bekasi Selatan, Kota Bekasi.
"Sebetulnya kami sudah menangani dari awal, itu dibuatkan laporan polisi. Jadi kita sudah menangani," ucap Humas Polres Metro Bekasi Kota, AKP Suparyono.
Hingga kini, polisi sudah memintai keterangan dari korban. Kepolisian juga masih mendalami informasi terkait kaburnya suami korban, dan juga menjadi terlapor dalam kasus ini.
"Itu masih dalam pendalaman oleh tim penyidik" (Kompas.com Kamis, 26/6/2025).
Bukan Sembarang Cepat
Cepat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna, tetapi secara umum merujuk pada sesuatu yang berlangsung dalam waktu singkat, bergerak atau terjadi dengan segera, atau memiliki kecepatan dalam melakukan sesuatu.
Kecepatan sangat lazim dijadikan parameter atau indikator untuk mengukur kinerja dari perseorangan, organisasi atau lembaga baik swasta maupun pemerintah, namun kecepatan yang dimaksud harus linear dengan target kinerja yang sudah ditentukan, sehingga tidak asal cepat melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hal tersebut merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana secara tegas dinyatakan pada Pasal 1 ayat 3 perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).
Dalam konsep negara hukum, yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.
Untuk itu menarik membahas tentang laporan dari inisial D sebagaimana sudah diuraikan di atas, tentunya dengan menggunakan prespektif penegakan hukum lebih spesifik penegakan hukum pidana.
Setelah mengalami peristiwa KDRT maka pada tanggal 20 Juni 2025 yang bersangkutan telah membuat laporan ke Polres Bekasi, kemudian pada tanggal 24 Juni 2025 atau 4 (empat) hari setelah membuat laporan ke polisi korban inisial D menyimpulkan laporannya tidak ditindaklanjuti dan berniat bunuh diri sebelum kemudian menghubungi call center Damkar Kota Bekasi.
Menjadi pertanyaan apakah 4 (empat) hari setelah pelaporan peristiwa KDRT kepada pihak kepolisian dan terhadap pelaku belum dilakukan penindakan maka sudah dapat disimpulkan bahwa laporan tidak ditindaklanjuti?
Keinginan VS HAM
Merupakan sesuatu yang sangat jamak terjadi bahwa korban atau pelapor dari suatu peristiwa pidana mengkehendaki untuk pihak yang diterangkan sebagai pelaku dapat segera ditangkap dan dipenjarakan.
Secara psikologis keinginan tersebut tentu dapat dimaklumi karena seseorang yang mengalami suatu peristiwa yang dikualifikasi sebagai tindak pidana tentunya mengkehendaki agar pihak lain yang menimbulkan derita atau kerugian bagi dirinya dapat segera menerima pembalasan berupa penderitaan juga.
Cara berpikir tersebut dipengaruhi tujuan hukum pidana pada KUHP Indonesia yang berlaku sejak lama berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda yang disadur dari Code Penal Prancis Tahun 1810 mulai diberlakukan di Belanda pada tahun 1886 tepatnya pada era aliran klasik sebagai reaksi digulingkannya rezim kuno (ancien regime) yang absolut dan sewenang-wenang di Prancis dalam revolusi Prancis, kemudian pada tahun 1918 dengan asas konkordansi diberlakukan juga di Hindia-Belanda.
Tujuan pidana pada aliran klasik menganut teori absolut dengan prinsip pembalasan (retributif) sebagai legitimasi pemidanaan, pidana dijatuhkan kepada pelaku karena mereka layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka dengan fokus perlindungan kepentingan individu.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia dan jaminan setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka terhadap hukum acara pidana yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku sejak tahun 1941 dinyatakan dicabut karena dianggap tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP dianggap lebih menjungjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip due proces of law dalam proses penegakan hukum (pidana) yang dijalankan.
Due process of law oleh Marjono Reksodiputro diartikan sebagai proses hukum yang adil dengan cara penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal dan juga mengandung jaminan hak atas kemerdekaan seorang warga negara.
M.Yahya Harahap menyatakan bahwa sepuluh asas yang terdapat pada KUHAP menganut prinsip due proces of law dimana proses hukum yang fair bagi tersangka atau terdakwa adalah didengar pandangannya tentang bagaimana peristwa kejahatan itu terjadi.
Dalam pemeriksaan, dia berhak didampingi penasehat hukum dan mengajukan pembelaan, sementara penuntut umum harus membuktikan kesalahannya dimuka pengadilan yang bebas dengan hakim yang tidak berpihak (Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,1993, Hal 41).
Penutup
Intinya semua proses pidana yang dijalankan ada proseduralnya dan tentunya membutuhkan waktu sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan terhadap upaya paksa yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum dapat diajukan keberatan atau diuji melalui mekanisme praperadilan itulah konsekuensi dari Due Proces Of Law.
*Penulis adalah Kanit 3 Subdit III Ditreskrimsus Polda Sumut/Dosen Hukum Pidana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Darma Agung Medan
[Redaktur: Robert Panggabean]