"Diagnosisnya apa? Schizophrenia lambat (sluggish schizophrenia). Mereka yang dikirim ke psikhushka kehilangan kredibilitas mereka, kehilangan hak untuk membela diri, kehilangan identitas mereka sebagai manusia yang rasional. Bagaimana mungkin seorang bisa berdebat tentang kebijakan negara jika mereka sudah di cap sebagai orang gila," ujar Hinca.
Hinca pun menyatakan bahwa kasus Valyano bukan sekedar kegagalan teknis, namun gagalnya manajemen hukum di tubuh kepolisian, minimalnya di SPN Jawa Barat.
Baca Juga:
Sejak 1970, Cita Rasa Khas di Kedai Kopi dan Masakan Batak Mery Parongil Dairi
"Tetapi saya, kami semua, memiliki moral standing untuk menilai baik dan buruknya suatu sistem. Ijinkan pimpinan saya bilang, dalam kali ini sistem ini buruk sekali," tegas Hinca.
Sementara itu, dalam RDPU yang dipimpin Ahmad Sahroni tersebut, Kepala SPN Polda Jawa Barat Kombes Pol Dede Yudy Ferdiansyay menyebut bahwa Valyano dikeluarkan karena dua aspek.
"Yang bersangkutan dikeluarkan, karena dua aspek. Yaitu aspek mental dan kepribadian, yang kedua aspek akademik yaitu tidak mengikuti perkuliahan selama 230 jam pelajaran," jelas dia.
Baca Juga:
Sidang Razman vs Hotman Ricuh, MA Tunggu Laporan Resmi
Orang tua korban pun hadir menepis anaknya depresi karena di SPN. Selain itu, menjelaskan anaknya mendapat kekerasan dari seniornya, bahkan disebut mengalami gangguan jiwa.
Mendengar hal ini, IPDA Ferren Azzahra Putri dari Bagian Psikologi SDM Polda Jawa Barat, yang memeriksa dan melakukan tes psikologi, menjelaskan dari hasil analisanya, bahwa siswa tersebut menunjukan contoh yang menjurus kepada NPD atau Narcissistic Personality Disorder.
Selain itu, dia menerangkan mendapatkan informasi dari siswa lain, bahwa korban menyuruh memukul bagian punggungnya, agar terkesan dipukul oleh pengasuh, selain itu disebut korban memiliki sikap arogan dan angkuh.