DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Putusan ini adalah kabar buruk bagi keadilan. Bagaimana mungkin kerugian negara sebesar Rp 300 triliun hanya dihargai dengan hukuman 6,5 tahun penjara?
Mari bicara fakta. Ini adalah korupsi sumber daya alam, salah satu kejahatan paling destruktif yang dampaknya tidak hanya menghantam ekonomi, tapi juga merusak lingkungan dan melukai rakyat.
Baca Juga:
Novel Baswedan Ungkap Usulan Tersangka Hasto Mandek di Pimpinan KPK Sejak 2020
Timah Bangka Belitung, yang seharusnya menjadi berkah bagi daerah, justru menjadi kutukan. Korupsi ini bukan sekadar mencuri uang; ini mencuri masa depan.
Lingkungan di Babel hancur, tambang ilegal merajalela, dan rakyat hidup dengan warisan kerusakan. Lalu, hukuman hanya 6,5 tahun? Hilang sudah akal sehat.
Saya bahkan merasa tuntutan jaksa yang 12 tahun saja sudah terasa ringan. Tapi hakim menilai jauh lebih rendah lagi. Apa ini? Diskon akhir tahun untuk para koruptor?
Baca Juga:
Serbuan Barang Impor dan Krisis Global, Industri Tekstil RI di Ujung Tanduk
Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pondasi keadilan kita. Ketika pelaku korupsi skala besar hanya mendapat hukuman ringan, apa pesan yang kita kirimkan kepada masyarakat? Bahwa korupsi adalah kejahatan yang “aman”? Bahwa mencuri sumber daya negara jauh lebih murah risikonya dibandingkan mencuri motor di jalanan? Ini adalah preseden yang mengerikan.
Korupsi dalam sektor SDA bukan sekadar kejahatan finansial, tapi juga moral. Timah di Babel adalah simbol luka besar kita: hancurnya lingkungan, tergadainya kekayaan negeri, dan hilangnya harapan rakyat.
Saya mendesak jaksa untuk segera mengajukan banding. Ini bukan hanya soal mengejar hukuman yang lebih berat, tapi soal menyelamatkan integritas hukum itu sendiri. Kita tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja. Sebuah negara tanpa keadilan adalah negara tanpa masa depan.