Suatu pekan (pasar) tak ubahnya segelas air manis, dikerumuni semut. Hal itu akan berlanjut terus selama tidak dibatasi.
Untuk pemecahannya ada beberapa pilihan. Semut di matikan, air manis ditutup rapat. Berikan alternatif. Pilihan lain lebih memungkinkan jika itu untuk manusia. Beri alternatif yang boleh diterima kedua pihak. Walau tidak saling menguntungkan, sedikitnya saling tidak merugikan.
Baca Juga:
Pasutri Terdakwa Pembunuh Roida Sagala di Dairi, Dituntut 18 dan 4 Tahun Penjara
Kalau kita jujur, sebenarnya bukan inovasi, bukan alternatif yang diberikan kepada pengguna jasa pasar tetapi tindakan penertiban (penggusuran). Kata penertiban sering memberi nuansa pengertian, apakah membuat tertib atau membuat keributan.
Tiga pekan lalu, April 2025, kru media ini menyaksikan penertiban terhadap pedagang di sekitar pekan Sumbul, Kecamatan Sumbul, yang dilakukan Satpol Pamong Praja (Satpol PP) dibantu Dinas Perhubungan dan lainnya.
Petugas penertiban dari Satpol PP, mengusir pedagang dan bahkan Satpol PP sampai menabraki beberapa tiang kios pedagang. Tak obahnya seperti Tentara Serbia. Pedagang yang kebanyakan wanita lanjut usia pun lari tunggang langgang menyelamatkan barang jualannya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Kesiapan Pertamina Geothermal Pasok Listrik ke 2 Juta Pelanggan dengan Energi Bersih Tenaga Panas Bumi
Hasil pebertiban itu sering hanya beberapa jam saja. Setelah petugas berlalu, pedagang kembali membentangkan jualannya, layaknya main kucing-kucingan.
Mereka yang selalu mengalami penertiban adalah petani yang memasarkan langsung hasil (produksi) pertaniannya. Tentu, mereka tak punya tempat di pajak karena sifatnya musiman.
Sebenarnya dilema seperti ini bukan hanya di pajak Sumbul, tetapi semua kota maju dan sedang berkembang. Kenyataan yang harus diterima.