Publik tentunya menunggu putusan tiga pendekar Hakim MKMK dan bagaimana kemungkinan putusannya MKMK, mari kita telisik dalam tinjau hukum, etika dan sosiologis hukum.
Ditengah gencarnya tekanan publik untuk mengembalikan marwah MK RI yang telah mencederai rasa keadilan rakyat akibat dari putusan perkara nomer 90/PUU-XXI/2023, yang mana putusan tersebut dinilai syarat dengan kepentingan politik Istana untuk meloloskan sang putra Mahkota Gibran sebagai Cawapres.
Baca Juga:
Kasus Pertamax Gagal Standar, YLKI Ungkap Hak-hak Konsumen
Bahwa tak bisa dihindari adanya tuduhan telah terjadi perselingkuhan hukum Hakim MK dengan pihak istana dari adanya aroma kuat intervensi kekuasaan dari pihak istana.
Uraian dalam dissenting opinion Hakim Konstitusi tentunya akan menambah keyakinkan publik bahwa putusan tersebut jauh dari asas kemandirian, imparsialitas dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Demikian halnya terkait dengan perilaku Ketua MK RI dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas tiga perkara yang ditolak, ketua MK tidak hadir, dengan alasan mengindari adanya conflic of interest, sedangkan untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikabulkan, Ketua MK RI menghadiri RPH tersebut.
Baca Juga:
Energi Hijau Jadi Primadona, PLN Siapkan Solusi untuk Klien Raksasa Dunia
Dinamika Rapat Permusyawaratan Hakim khususnya tentang perilaku Ketua MK yang notabane paman dari Gibran. Dalam rapat permusyawaratan tersebut diduga kuat telah terjadi tarik menarik kepentingan.
Perilaku hakim tersebut dapat dinilai sebagai perbuatan yang tidak pantas dan tercela secara etika serta telah melanggar perinsif kemandirian Hakim yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Bahwa adanya campur tangan kekuasaan lainnya kepada MK telah menimbulkan dampak buruk bagi MK yakni hilangnya kepercayaan rakyat dimana MK sebagai benteng terakhir pengawal Konstitusi.