Sidang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dikabulkannya putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, masih bergulir.
Dengan dikabulkannya perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah memantik reaksi kemarahan publik. Putusan kontroversi tersebut dinilai sarat dengan konflik kepentingan istana, sehingga seluruh elemen masyarakat yang tercerdai rasa keadilannya mengadukan putusan ini sebagai bentuk pelanggaran etika dan perilaku Hakim MK.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Museum SBY Ani dalam Penggunaan EBT Komitmen Kurangi Emisi Karbon, Contoh bagi Pemilik Gedung Besar di Indonesia
Tiga orang tokoh bangsa yaitu Prof Jimly Asshiddiqie, Bintan R. Saragih, Wahiddudin Adams telah ditunjuk sebagai tiga hakim MKMK yang memeriksa dan mengadili sembilan Hakim Konstitusi atas delapan belas ditambah dua laporan pelanggaran etika hakim.
Dalam hukum acara MKMK, Hakim MKMK akan mengawali persidangan dengan memeriksa ke dua puluh laporan pelapor secara bergantian dalam sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum.
Hakim MKMK selanjutnya akan memeriksa sembilan hakim Mahkamah Konstitusi secara bergantian yang sidangnya dilakukan secara tertutup.
Baca Juga:
Tol Getaci Batal Jadi yang Terpanjang, Proyek Dipangkas hingga Tasikmalaya
Setelah mendegar keterangan pelapor dan pihak lainya, kemudian dilanjutkan dengan mendengar keterangan sembilan hakim MK serta memeriksa alat bukti maka hakim MKMK sampai kepada pembacaan putusan, yang rencananya dilakukan paling lambat pada tanggal 7 Nopember 2023.
Ada dua bentuk putusan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim di MKMK yakni terbukti atau tidak terbukti.
Jika terbukti maka akan dijatuhkan putusan berupa peringatan, teguran dan pemberhentian, sedangkan jika tidak terbukti, dinyatakan ditolak.
Publik tentunya menunggu putusan tiga pendekar Hakim MKMK dan bagaimana kemungkinan putusannya MKMK, mari kita telisik dalam tinjau hukum, etika dan sosiologis hukum.
Ditengah gencarnya tekanan publik untuk mengembalikan marwah MK RI yang telah mencederai rasa keadilan rakyat akibat dari putusan perkara nomer 90/PUU-XXI/2023, yang mana putusan tersebut dinilai syarat dengan kepentingan politik Istana untuk meloloskan sang putra Mahkota Gibran sebagai Cawapres.
Bahwa tak bisa dihindari adanya tuduhan telah terjadi perselingkuhan hukum Hakim MK dengan pihak istana dari adanya aroma kuat intervensi kekuasaan dari pihak istana.
Uraian dalam dissenting opinion Hakim Konstitusi tentunya akan menambah keyakinkan publik bahwa putusan tersebut jauh dari asas kemandirian, imparsialitas dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Demikian halnya terkait dengan perilaku Ketua MK RI dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas tiga perkara yang ditolak, ketua MK tidak hadir, dengan alasan mengindari adanya conflic of interest, sedangkan untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikabulkan, Ketua MK RI menghadiri RPH tersebut.
Dinamika Rapat Permusyawaratan Hakim khususnya tentang perilaku Ketua MK yang notabane paman dari Gibran. Dalam rapat permusyawaratan tersebut diduga kuat telah terjadi tarik menarik kepentingan.
Perilaku hakim tersebut dapat dinilai sebagai perbuatan yang tidak pantas dan tercela secara etika serta telah melanggar perinsif kemandirian Hakim yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Bahwa adanya campur tangan kekuasaan lainnya kepada MK telah menimbulkan dampak buruk bagi MK yakni hilangnya kepercayaan rakyat dimana MK sebagai benteng terakhir pengawal Konstitusi.
Dalam rangka memulihkan kembali marwah MK RI di mata rakyat dan sebagai lembaga peradilan yang bebas dan mandiri dari intevensi kekuasaan lainya serta sebagai benteng terakhir pengawal Konstitusi maka kami berpandangan bahwa arah putusan MKMK akan dijatukan kepada hakim MK.
Menjatuhkan sanksi berat yakni memberhentikan Ketua MK RI, atau setidak-tidaknya menjatuhkan putusan berupa teguran yaitu Ketua MK RI menjadi Hakim Non Palu.
*Penulis berprofesi sebagai advokat, juga Wakil Ketua Umum Front Kebangsaan
[Redaktur : Robert Panggabean]