DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Hukum senantiasa akan berubah menyesuaikan dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dimasyarakat dan juga kemanfaatan dari hukum itu sendiri.
Sehubungan dengan keadaan tersebut maka dalam ilmu hukum dikenal terminologi ius constitutum yang diartikan sebagai hukum atau dalam arti sempit dimaknai juga peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (Hukum Positif), sedangkan ius constituendum diartikan sebagai hukum yang dicita-citakan atau diharapkan akan berlaku di masa depan dan serta merta akan berubah menjadi ius constitutum pada saat sudah disahkan atau diundangkan menjadi peraturan perundang-undangan.
Baca Juga:
Data Ekspor Rafale Melonjak 4 Kali Lipat, Tapi Keperkasaan Tempurnya Diperdebatkan
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat didasarkan pada proses pengubahan sebagian atau seluruh isi dari suatu undang-undang yang sudah ada atau penggantian undang-undang yang diartikan sebagai proses mengganti seluruh undang-undang dengan undang-undang baru yang dilakukan positif legislator.
Akan tetapi pengubahan sebagian isi atau norma dari suatu undang-undang dapat juga dilakukan negatif legislator di Indonesia. Lembaga ini dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan Mahkamah Konstitusi
Salah satu bentuk negatif legislator yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam rangka mewujudkan ius constituendum adalah melalui Putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014 yang dalam putusannya memperluas objek praperadilan sebagaimana sudah diatur dalam rumusan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP.
Baca Juga:
Cegah Penyalahgunaan, PPATK Bekukan Rekening Tak Aktif
Dalam amar putusan 1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Dengan putusan ini maka objek praperadilan bertambah dari sebelumnya hanya dalam lingkup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Pokok pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menjadikan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, berhubung penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan sebagaimana dapat dilihat pada halaman pertimbangan putusan 105-106.