Menurut Rainim, tambang tidak layak beroperasi di wilayah pertanian yang telah lama mereka kerjakan dari generasi ke generasi dan telah memberikan mereka kehidupan.
Warga lainnya, Barisman Hasugian menambahkan, mereka menolak keras kehadiran PT DPM, karena kekhawatiran bencana jika perusahaan tersebut
beroperasi.
Baca Juga:
Kenang Ryanto Ulil, Brigjen TNI Elphis Rudy: Saya yang Antar Dia Jadi Polisi, Kini Antar ke Peristirahatan Terakhir
Pasalnya, dalam peta rawan bencana, Kabupaten Dairi berada di zona merah yang berstatus “rawan bencana”.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dairi juga mengatakan, Kabupaten Dairi telah memiliki status “swalayan bencana” sebab segala jenis bencana sudah pernah terjadi dan mempunyai ancaman yang nyata.
Baresman menyebut, bukan menakut-nakuti warga. Tetapi faktanya, Kabupaten Dairi dilalui tiga jalur patahan gempa, yakni patahan Toru, Renun dan Angkola.
Baca Juga:
OTT di Bengkulu, KPK Amankan 8 Pejabat dan Sita Sejumlah Uang Tunai
“Desember 2018 terjadi banjir bandang di desa kami Bongkaras yang merenggut tujuh orang korban meninggal dunia. Dua korban tidak ditemukan jenazahnya sampai sekarang. Gempa sepersekian detik belakangan juga semakin sering kami rasakan. Ini sangat membuat perasaan kami takut dan membuat tidur tak nyenyak,” ujar Barisman.
Dipaparkan, pakar hidrologi internasional Steve Emerman dan ahli bendungan Richard Meehan yang mengkaji
keberadaan tambang DPM di Dairi menyatakan, rencana pertambangan yang diusulkan tidaklah tepat sebab lokasi tambang berada di hulu desa, diatas tanah yang tidak stabil, serta di lokasi gempa tertinggi di dunia.
Sejalan dengan pendapat kedua ahli itu, pada Juni 2022 Compliance Advisor Ombudsman (CAO) World Bank mengeluarkan laporan berdasarkan pengaduan warga Dairi pada Oktober 2019.