WahanaNews-Dairi | Memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menggelar aksi di depan Patung Kuda Monas, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Dalam aksi dimaksud, Jatam menyerukan perlawanan kepada kolonialisme industri ekstraktif, sekaligus mempertahankan ruang hidup.
Baca Juga:
Mantan Presiden RI ke-7 Kunjungi Liang Melas Datas,Gandeng Pakar Pertanian UGM Dan Dukung Upaya Atasi Serangan Hama Jeruk.
Demikian keterangan pers tertulis Judianto Simanjuntak, tim hukum Sekretariat Bersama (Sekber) Tolak Tambang, diterima WahanaNews.co, Senin (29/5/2023) malam.
Dipaparkan, tragedi bencana sosial ekologis semburan lumpur panas Lapindo, yang hari ini genap telah berlangsung 17 tahun, menjadi salah satu penanda penting, bahwa model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraktivisme, alih-alih mensejahterahkan warga, justru memicu bencana sosial ekologis yang nyaris tak terpulihkan.
Tragedi ini seharusnya menjadi dasar alasan yang kuat bagi pengurus negara untuk mulai menghentikan ketergantungan pada industri ekstraktif, baik sebagai sumber pemenuhan energi maupun penopang ekonomi.
Baca Juga:
Turut Gerakkan Ekonomi Lokal, ALPERKLINAS Apresiasi Langkah PLN Kerjasama dengan BUMDes Manfaatkan PLTA Sebagai Objek Wisata Edukatif Memorial
Semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, menenggelamkan 1.143 hektar lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warganya mengungsi.
Bahkan, derita warga korban lumpur Lapindo masih berlangsung hingga saat ini, dimana sumber-sumber air warga tercemar logam berat dari dan warga yang setiap hari menghirup gas beracun dari lumpur panas Lapindo.
Warga terancam dirampas hak sipil-politiknya akibat rencana penghapusan administrasi empat desa yang terdampak semburan lumpur Lapindo, yakni Desa Renokenongo, Desa Besuki, Desa Kedung Bendo dan Desa Ketapang.