Situasi ini tengah dialami oleh lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia.
Upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal.
Baca Juga:
Dua Kecamatan ‘Clear’ Rekapitulasi, Ketua KPU Kota Bekasi Klaim Pleno Terbuka Kondusif
Hal yang serupa juga dilakukan oleh korporasi tambang di industri nikel. Dengan dalih pengembangan ekosistem kendaraan listrik, yang dipromosi habis-habisan oleh pengurus negara saat ini, industri nikel menghancurkan ruang hidup warga khususnya di kawasan timur Indonesia.
Belum lagi ratusan ribu ton batu bara yang terus dikeruk dan dipasok ke smelter-smelter di kawasan industri pengolahan nikel, yang memperparah penghancuran di Kalimantan.
Ekspansi industri nikel atas nama kendaraan listrik, yang diklaim ramah lingkungan dan rendah karbon ini, di antaranya terjadi di Pulau Obi di Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, yang keduanya terhubung dengan jejak buruk salah satu raksasa korporasi tambang di Indonesia, Harita Group.
Baca Juga:
Mulai Minggu Ini, Deretan Film Blockbuster Big Movies Platinum GTV Siap Temani Akhir Tahunmu!
Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan.
Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.
Terpisah sebelumnya, Jubir Jatam Muh Jamil, mengkritisi fungsi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), yang menurutnya saat ini tidak lagi berfungsi untuk membatasi investasi yang merusak.