Tragedi bencana industri tambang ini menjadi tonggak awal penetapan Hari Anti Tambang (HATAM) yang mulai diperingati sejak 29 Mei 2011 lalu. HATAM adalah sebuah peringatan nyata atas daya rusak industri ekstraktif yang tak berhenti menuai bencana sosial-ekologi.
Bencana sosial ekologis yang muncul dari industri ekstraktif pertambangan ini, tak hanya terjadi di kasus lumpur Lapindo.
Baca Juga:
Sesuai Perintah Kapolri : Polda Riau Ungkap 171 Kasus Narkoba
Bencana serupa juga terjadi dan semakin meluas di berbagai tempat, tidak peduli pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bahkan penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif ini, dilakukan dengan mendompleng narasi-narasi krisis iklim–krisis yang jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri.
Membungkus operasi-operasi industri tambang dengan jargon transisi energi, ekonomi rendah karbon, teknologi ramah lingkungan, hingga klaim energi bersih dan berkelanjutan.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Sebagaimana yang terjadi dalam industri geothermal alias pertambangan panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih dan berkelanjutan.
Jatam menggelar aksi perlawanan kolonialisme industri ekstraktif, pada peringatan Hari Anti Tambang, di depan Patung Kuda Monas, Jakarta, Senin (29/05/2023) [Foto: WahanaNews/dok. Jatam]
Teror atas hidup warga sehari-hari terus berlangsung, dimulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.