Penulis: Devi Romauli Sianipar (Staff Yayasan Diakonia Pelangi Kasih)
WahanaNews-Dairi | Ladang menjadi tempat bermain yang paling menyenangkan dan tempat dimana ada canda dan tawa dalam menjalani kehidupan masa kecil bagi Saudur boru Sitorus.
Baca Juga:
Jakarta dan Kota-Kota Satelit Bersatu, Transformasi Besar di Depan Mata
Saudur adalah seorang tokoh perempuan yang selalu berjuang mempertahankan tanah dan pertaniannya. Saudur dilahirkan di Desa Jambur, Kecamatan Silima Pungga-pungga, 24 April 1950.
Ia lahir dari keluarga sederhana, namun tidak berkekurang. Kehidupan mereka terpenuhi dari hasil pertanian yang mereka miliki.
Ayahnya bernama Pareman Sitorus, seorang petani yang memiliki tanah cukup luas untuk dikelola demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Baca Juga:
Jalan Langkat-Karo Kembali Tertimbun Longsor, Kendaraan Tak Bisa Melintas
Ibunya, Lesteria boru Simamora, seorang ibu rumah tangga dan ikut serta bertani membantu sang suami serta mengurus anak-anaknya.
Saudur adalah anak ke 2 dari 6 bersaudara. Ia memiliki 2 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan. Masa kecil yang ia lalui sungguh menyenangkan dan membuatnya menjadi seorang wanita yang mandiri dan pekerja keras.
Sejak kecil, ia bersama adik-adiknya telah dilatih oleh kedua orangtuanya untuk bertanggungjawab. Setiap orang memiliki tugas dan tanggungjawab mereka masing-masing.
Devi Romauli Sianipar [Foto: WahanaNews/ist]
Ada yang mencuci piring, menyapu rumah dan bahkan setiap pulang sekolah mereka wajib pergi ke ladang membantu orangtuanya.
Saudur, sebelum berangkat ke sekolah di pagi hari, selalu menyempatkan waktu untuk bekerja di ladang dekat rumahnya, seperti mencabuti rumput dan mencangkul.
Biasanya, satu jam di pagi hari setelah ia bangun, dipergunakan untuk mengurus kebun yang tepat berada di belakang rumah mereka. Setelah itu, barulah ia berangkat ke sekolah untuk memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya.
Pada hari biasa, ia bangun pukul 06.00 Wib dan langsung bekerja di ladang milik mereka hingga pukul 07.00 Wib. Setelah itu, ia berbenah untuk berangkat ke sekolah.
Berbeda dengan anak-anak sebayanya yang masih bisa tidur terlelap sebelum berangkat ke sekolah, Saudur justru harus memakai waktu yang ia miliki sebaik mungkin untuk tugas dan tanggungjawab yang diberikan kedua orangtuanya, bahkan untuk bisa tepat waktu ke sekolah.
Saudur mengingat betul masa kecilnya yang paling berkesan, ia selalu mandi di sungai yang ada dekat ladangnya sebelum berangkat ke sekolah.
Selain membantu orangtua di ladang, Saudur juga membantu membuat keripik dari ubi, dijual untuk menambah biaya kebutuhan keluarga.
Hal ini jugalah yang membiasakan Saudur untuk mandiri mencari uang, hingga akhirnya ia juga memasuki dunia bisnis kecil-kecilan dengan berjualan (bersambung). [gbe]