DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Perkembangan teknologi saat ini sangat berpengaruh pada gaya hidup sehari-hari masyarakat yang mengedepankan aspek kemudahan, kecepatan dan efisiensi dihampir segala bidang.
Melalui aplikasi yang ada pada gadget atau handphone, dari barang kecil yang hanya sebesar genggaman tangan banyak hal yang bisa dilakukan seperti akses informasi, layanan pesan antar makanan, berbelanja bahkan layanan digital m-banking.
Baca Juga:
Dukung Percepatan Kota Global Aglomerasi Jabodetabekjur, MARTABAT Prabowo-Gibran Sarankan Tiang Monorel Jakarta Jadi Rel Sky Train Kuningan–Kawasan GBK
Kemajuan teknologi tidak selalu menghasilkan hal yang berdampak positif, disisi lain turut juga membawa dampak negatif sebagaimana ungkapan pisau bermata dua.
Penguasaan teknologi dapat juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang menginginkan keuntungan besar dengan usaha seminimal mungkin dengan melakukan manipulasi dengan berbagai cara.
Salah satunya yang sedang menjadi perhatian adalah manipulasi melalui layanan digital. Metode yang digunakan biasanya seseorang akan menyamar sebagai pihak terpercaya, seperti e-commerce terkenal, bank, lembaga pemerintahan atau layanan digital lainnya.
Baca Juga:
Iran Diam-diam Kembangkan Rudal Nuklir Penghancur Jarak Jauh
Orang-orang seperti ini biasa kita sebut sebagai penipu online, karena yang bersangkutan memperoleh sesuatu dengan ketidakjujuran atau tipu daya.
Fenomena Penipuan
Fenomena penipuan di Indonesia, khususnya penipuan online, sedang mengalami peningkatan dalam berbagai modus.
Diantaranya berkedok hadiah, pinjaman digital ilegal, pengiriman tautan berisi malware, investasi ilegal, hingga modus phishing, dan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan sejak 22 November 2024 hingga 9 Februari 2025 terdapat 70.390 rekening terindikasi aktivitas penipuan yang telah dilaporkan ke Pusat Penanganan Penipuan Transaksi Keuangan atau Indonesia Anti Scam Centre (IASC) dari jumlah tersebut, 28 % telah berhasil di lakukan pemblokiran.
Kerugian yang dilaporkan masyakarat mengenai indikasi penipuan ini mencapai Rp 700,2 miliar, dan yang berhasil diblokir hanya sebesar Rp 106,8 miliar (Tempo.com, 25 Februari 2025).
Diantara peristiwa tersebut adalah rekening nasabah bank di Padang, Sumatera Barat, terkuras isinya hingga 1 (satu) miliar rupiah.
Berdasarkan cerita nasabah tersebut, musibah terjadi setelah dia terpedaya oleh modus penipuan yang membuatnya mengungkap data kredensial, PIN transaksi dan kode One Time Password (OTP), yang kemudian digunakan untuk menguras saldo di rekening bank miliknya tersebut dalam sekejap (Tempo.com, 13 Juni 2022).
Peristiwa seorang perempuan inisial SW usia 63 tahun, mengatakan telah mentransfer sejumlah uang ke rekening yang terdaftar atas nama perusahaan yang ternyata fiktif untuk membeli mata uang kripto.
SW menjadi korban penipuan berkedok investasi kripto setelah tergabung dalam grup pembelajaran investasi melalui WhatsApp.
Dalam prosesnya, pelaku yang mengaku sebagai Profesor AS dan asistennya, DH, membujuk SW berinvestasi melalui platform JYPRX.
Untuk mentransfer dana, pelaku memberikan nomor rekening dari dua bank ternama, yakni BRI dan BCA. SW sendiri mengaku telah mentransfer total dana sebesar kurang lebih Rp330 juta dalam beberapa tahap.
Total korban yang teridentifikasi saat ini sebanyak 90 orang dengan nilai kerugian sebesar Rp105 miliar.
Modus yang digunakan oleh pelaku untuk menawarkan investasi ini adalah dengan membuat iklan di media sosial. Jika korban mengklik iklan tersebut, akan diarahkan ke nomor WhatsApp untuk selanjutnya terhubung dengan seseorang yang mengaku sebagai Profesor AS (Tempo.com, 26 Maret 2025).
Jual Beli Rekening
Polisi membongkar praktik jual-beli rekening penampungan judi online yang bermarkas di Cengkareng, Jakarta Barat. Para tersangka mengumpulkan rekening dari sejumlah WNI yang kemudian dikirim ke jaringannya di Kamboja.
Dalam kasus ini, tiga tersangka bertugas untuk merekrut atau menjaring warga untuk membuat rekening penampungan judi online (judol). Warga yang membuat rekening untuk judol ini kemudian diberikan bayaran Rp 1 juta. Setelah itu, buku rekening dan ATM dari 'peserta' diserahkan kepada perekrut.
Perekrut ini kemudian akan menginstall aplikasi m-banking pada ponsel yang sudah mereka sediakan. Kemudian dari handphone tersebut diinstal aplikasi m-banking dan kemudian dengan handphone tersebut beserta dengan data terkait dengan PIN ATM kemudian juga password m-banking dan juga kartu ATM-nya 1 paket dikirim ke negara Kamboja untuk digunakan sebagai rekening penampungan judi online.
Kegiatan ini dilakukan sejak 2022. Diperkirakan selama 2 tahun lebih pelaku telah mengirimkan 4.000-an buku rekening sejumlah WNI ke Kamboja (Detik.com, 08 Nov 2024).
Praktik jual beli rekening bank yang berlangsung secara terang-terangan di media sosial seperti Facebook sudah pernah juga dilakukan investigasi oleh Tim Kompas. Sedikitnya ditemukan 17 grup di Facebook yang menjadi wadah ajang jual beli rekening.
Selain dimedia sosial, perburuan rekening bank dari masyarakat dilakukan juga oleh agen sindikat perjudian secara luring. Mereka melobi warga secara langsung agar mau membuat rekening bank baru dengan imbalan sejumlah uang yang lazim disebut dengan istilah beternak rekening bank untuk diperjual belikan (Eksklusif Investigasi Kompas.id, 15 Desember 2023).
Praktik penipuan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dipastikan menggunakan rekening-rekening penampung hasil dari jual beli rekening.
Terdaftar atas nama orang tertentu, namun kendali dalam penggunaan rekening tersebut sudah berpindah ke pihak lain yang sama sekali tidak dikenal oleh pemilik rekening yang telah menjual rekeningnya.
Pengungkapan kasus-kasus seperti ini cenderung sulit karena melibatkan pihak perbankan dengan segala prosedur yang ketat dihubungkan dengan regulasi terkait kerahasian bank.
Sebagaimana pernah dialami sendiri oleh penulis pada saat menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Dairi Polda Sumut dalam kurun waktu November tahun 2021 sampai dengan Juli tahun 2023.
Dengan regulasi yang ada saat ini masih tetap terbuka ruang dan peluang untuk para penipu tetap beraksi, disisi lain isak tangis pilu para warga yang tertipu dipastikan masih akan terdengar di sentra-sentra pelayanan kepolisian di seantero negeri yang juga akan menyesakkan hati polisi yang melayani.
Criminal Prevention
Dalam ajaran hukum pidana terkait tujuan pidana terdapat teori relatif yang menyatakan bahwa tujuan pidana adalah menegakkan ketertiban masyarakat dan mencegah kejahatan.
Pencegahan kejahatan dibagi 2 (dua) yakni pencegahan umum atau prevensi umum oleh Von Heurbach diartikan sebagai paksaan psikologis, penjatuhan pidana terhadap seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama (kejahatan), sedangkan sanksi pidana yang tertulis dalam undang-undang akan mengurungkan niat orang untuk berbuat jahat.
Pencegahan khusus atau prevensi khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya sebagaimana pendapat dari Van Hammel (Prinsip-prinsip hukum pidana edisi revisi, hal 39-40).
Memperhatikan hal sebagaimana diuraikan di atas dalam rangka melindungi kepentingan dari warga negara yang berpotensi akan menjadi korban penipuan dimasa yang akan datang dihubungkan dengan teori Root Cause Analysis (RCA), bersifat urgent untuk adanya pengaturan norma tentang larangan melakukan jual beli rekening bank dengan disertai sanksi pidana.
Keberadaan dari norma tersebut sebagai bagian dari prevensi umum untuk mencegah kejahatan dipastikan berkorelasi pada penurunan tindak pidana penipuan dan perjudian.
warga yang berpotensi beternak rekening akan enggan untuk membuka rekening yang kemudian dijual atau diserahkan kepada pihak lain.
Penutup
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas disebutkan bahwa diantara tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut perumusan undang-undang yang memiliki daya cegah untuk tidak terjadinya suatu kejahatan diantaranya penipuan online yang telah banyak merugikan warga negara adalah bagian dari melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dalam hal pemerintah dan legislatif tidak segera menghadirkan aturan tersebut maka dapat diartikan negara telah merestui keberlanjutan Penipuan terhadap warga negara dengan pendekatan teori pembiaran negara (act of omission).
*Penulis adalah Kanit 3 Subdit III Ditreskrimsus Polda Sumut/Dosen Hukum Pidana pada Magister Ilmu Hukum Universitas Darma Agung Medan.
[Redaktur: Robert Panggabean]