Demikian dengan ajaran baru pada bulan Juni 2025, pihak sekolah mengundang para orangtua.
Dalam rapat disampaikan bahwa anak didik perlu dibelikan buku baru. Para orangtua setuju, kecuali ibu si anak dimaksud.
Baca Juga:
Hari Pelanggan Nasional, PLN Dorong Electrifying Lifestyle Lewat Edukasi Kompor Induksi
"Hingga bulan Juli, tidak dibelikan bukunya. Tetap menggunakan buku bekas abangnya. Ditip-ex, agar dapat diisi ulang jawaban-jawabannya. Bahkan pilihan berganda pun di tip-ex," kata Sherly.
Belakangan, ibu si anak meng-wa- wali kelas, agar tidak menjadikan buku sebagai bisnis.
Pihak sekolah kemudian berulangkali mengundang si ibu untuk datang ke sekolah membicarakan hal itu, namun tidak direspon.
Baca Juga:
Badan Jalan Menuju Desa Pardomuan Dairi Rusak Parah
Surat undangan terakhir dipenuhi, namun dalam pembicaraan bersama kepala sekolah, tidak ada titik temu. Belakangan, si anak pun pindah dari sekolah itu.
Sherly menambahkan, pihak sekolah tidak pernah memaksakan agar anak didik membeli buku pelajaran untuk dipakai. Bahkan ada beberapa siswa yang digratiskan bukunya.
"Intinya komunikasi. Orangtua menyampaikan ke kami. Ada keluarga yang tidak mampu, bukunya kami gratiskan. Bahkan uang sekolah, ada juga yang membayar hanya 50 persen," tambahnya.