Perlengkapan aksi teatrikal "mangandung" warga Dairi di PTUN Jakarta, Rabu (21/6/2023) [Foto: WahanaNews/ist]
Aksi yang dilakukan warga Dairi dimaksud, bertepatan dengan agenda sidang pembuktian ahli dari penggugat (warga Dairi) dan saksi dari tergugat (KLHK).
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Gugatan warga terhadap Menteri Siti Nurbaya ini bukan tanpa sebab. Sejak awal PT DPM melakukan sosialisasi dan eksplorasi pada 2008, warga menolak keras kehadiran tambang PT DPM karena kekhawatiran akan terjadinya bencana jika perusahaan tersebut beroperasi.
Pasalnya, Kabupaten Dairi berada di zona merah yang berstatus “Rawan Bencana”. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Dairi juga pernah menyatakan, Kabupaten Dairi telah berstatus “Swalayan Bencana” sebab segala jenis bencana sudah pernah terjadi dan mempunyai ancaman yang nyata.
Hingga akhirnya pada 11 Agustus 2022, KLHK menerbitkan Persetujuan Lingkungan untuk aktivitas tambang PT DPM. Padahal dalam audiensi yang dilakukan warga Dairi di KLHK pada 24 Agustus 2022, yakni 13 hari setelah SK Persetujuan Lingkungan tersebut diterbitkan, pihak KLHK mengatakan bahwa mereka masih belum memberikan persetujuan lingkungan untuk PT DPM.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
"Nah, yang paling fatal di 24 Agustus 2022 warga ke KLHK dan disambut oleh humas dari KLHK, beserta Dirjen Gakkum dan Dirjen PDLUK. Di situ kami merasa ditipu," ungkap Dormaida Sihotang, salah satu warga Dairi yang melakukan aksi mangandung.
Dormaida menyebut, warga sudah berungkali menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan KLHK untuk tidak mengijinkan tambang beroperasi di kampung mereka.
“Bahkan kami juga berulang kali ke Jakarta untuk melakukan audiensi. Karena pertanian yang sudah kami kerjakan selama turun temurun dan akan terus diwariskan dari generasi ke generasi, telah cukup menghidupi dan menyejahterakan kami,” pungkasnya.